Minggu, 29 April 2012

Dosen vs Mahasiswa

Teriris luka yg begitu dalam membuat naluri tidak dapat lagi membedakan yang mana yang benar dan yang mana yang salah. Dosen bagaikan manusia bertangan Malaikat, setiap mahasiswa tunduk padanya sebab kelulusan mahasiswa ditangan sang malaikat itu. walaupun begitu pantaskah seorang Dosen mengeksekusi mahasiswa atau mencap seorang mahasiswa itu, ini dan dia tidak pantas ditemani disebabkan tiada manfaatnya menemani mahasiswa tersebut. emmm...!!! mentang-mentang seorang Dosen seenaknya saja mengeksekusi mahasiswa. padahal Dosen belum tentu mengetahui kemampuan Mahasiswa tersebut.

Sabtu, 21 April 2012

POTRET ALIRAN MU’TAZILAH DI KANVAS PERADABAN


TUGAS MANDIRI MATA KULIAH ALIRAN-ALIRAN KALAM DOSEN: DRS. H. MAWARDY HATTA, M.AG OLEH: ARNADI PENDAHULUAN Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang berasal dari Allah SWT. Pada awal kedatangannya dan di tengah-tengah Nabi, islam begitu kokoh dan erat diperpegangi oleh pengikutnya yakni sahabat-sahabat Nabi dan para anggota keluarga Nabi Muhammad SAW sendiri. Mereka begitu patuh dan tunduk terhadap ajaran baru tersebut apa yang diperintahkan oleh Allah dan Nabi mereka kerjakan tanpa adanya bantahan atau keraguan sedikit juapun. Kalau pun ada keraguan atau hal-hal yang tidak mereka pahami, mereka bisa langsung menanyakannya kepada Nabi untuk memecahkan masalah yang mereka alami, baik itu masalah pribadi, sosial ataupun lebih-lebih lagi hal-hal yang terkait masalah agama. Dalam hal ini Nabi Muhammad berperan sebagai penuntun ummat sekaligus sumber pertanyaan para sahabat terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW dan seiring perkembangan zaman karekter ummat islam mulai berkembangan pula. Berawal dari kemelut tentang peristiwa siapa yang akan menjadi khalifah pasca wafat Nabi Muhammad SAW, puncaknya semenjak terpilihnya Sayyidina Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah kemudian disusul ‘Ali bin Abi Thalib mulai muncul masalah-masalah yang secara notabene memang masalah politik. Tetapi arus masalah politik tersebutlah yang menggiring ummat pada waktu itu terpecah menjadi tiga; ada golongan Syi’ah yang pro terhadap ‘Ali, Khawarij yang malah sebagai kelompok posisi dimana keberadaan mereka sebagai penentang ‘Ali dan Muawiyyah, dan para netralis yang tidak mau ikut-ikutan dalam masalak politik tersebut (Murjiah) atau Mu’tazilah. Dalam sejarah, kemelut politik tersebut ternyata membuat mereka juga memperbincangan masalah yang menyangkut teologi, seperti masalah status pelaku dosa besar, tentang kebebesan manusia, tentang sifat-sifat Tuhan dan lain sebagainya. Atas latar belakang inilah kemudian muncul apa yang kemudian disebut aliran atau golongan ataupun juga firqah-firqah teologi atau kalam dalam islam. Salah satu aliran kalam yang paling tua dan mempunyai kontribusi yang banyak dalam perkembangan islam adalah aliran Mu’tazilah. Oleh sebab itu menarik untuk dikaji seputar hal-hal yang behubungan dengan golongan Mu’tazilah ini, diatara hal-hal yang akan dipaparkan dalam makalah ini adalah seputar latar belakang lahirnya aliran Mu’tazilah, proses kelahirannya, penamaan aliran, corak pemikiran kalamnya, tokoh-tokoh beserta karyanya, dan yang terpenting adalah ajaran dasar (Ushul al-Khamsah) aliran Mu’tazilah serta perkembangannya. PEMBAHASAN A. Seputar latar belakang lahirnya, dan penamaan aliran Mu’tazilah Ada banyak versi mengenai latar belakang lahir atau munculnya aliran kalam kaum Mu’tazilah. Namun kesemuan versi tersebut cenderung mengarah kepada peristiwa perbincangan antara Hasan al-Bashri dengan salah seorang muridnya yaitu Washil bin ‘Atha, yang membicarakan tentang status para pelaku dosa besar. Namun ada juga versi yang lebih berbeda dari pada kebanyakan versi yang sudah populer, yang juga akan dibahas di sini. Adapun versi yang pertama, di mana versi ini adalah yang paling banyak diperpegangi para penulis dengan tema yang sama. Yaitu informasi yang datang dari iman Al-Syahrastani di dalam kitabnya beliau menyebutkan, bahwa “ada seseorang yang mendatangi Hasan Bashri, seraya berkata ‘hai imamuddin!Sungguh di zaman kita ini telah muncul sekelompok orang yang mengkafirkan para pelaku dosa besar.Orang yang berdosa besar itu bagi mereka telah kufur dan keluar dari jalan agama, mereka itu adalah golongan Khawarij.Sedangkan ada juga sekelompok orang yang menangguhkan (yarjiun) tentang para pelaku dosa besar tersebut.Dosa besar bagi mereka tidaklah merusak keimaman seseorang, bahkan amal perbuatan seseorang menurut mereka tidaklah termasuk rukun iman, dan maksiat pun tidak merusakiman seseorang, demikian juga ketaatan tidak dipengaruhi oleh kekufuran.Mereka itulah golongan Murjiah, lalu bagaimana menurut anda mengenai hal yang demikian itu sebagai suatu I’tiqad? Lalu Hasan Bashri berfikir sejenak mengenai hal itu, tiba-tiba salah seorang muridnya Washil bin ‘Atha menjawab pertanyaan itu, sebelum gurunya menjawab ia berkata: ‘saya tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu Mu’min yang sempurna dan tidak juga kafir yang sejati, tetapi dia berada dalam posisi di antara dua posisi yaitu tidak Mu’min dan tidak juga Kafir. Kemudian ia berdiri dan memisahkan diri ke salah satu tiang Mesjid, ia menegaskan lagi jawabanya itu kepada jama’ah sahabat Hasan Bashri, lalu Hasan Bashri berkata: ‘Washil telah memisahan diri dari kita’, semenjak itulah kata syahrastaniWashil dan sahabatnya disebut dengan Mu’tazilah. Menurut sumber lain, yaitu dari Qadhi Abd al-Jabbar ibn Ahmad sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Hadariansyah, ia menyebutkan, kaum Khawarij berpendapat bahwa orang islam yang berdosa besar adalah kafir, dan kaum Murjiah berpendapat orang seperti itu masih tetap mu’min. sedangkan Hasan Bashri berpendapat orang tersebut tidaklah Mu’min dan tidak juga Kafir, tetapi Munafik. Salah seorang muridnya yaitu ‘Amr bin ‘Ubaid sependapat dengannya.Adapun Washil bin ‘Atha berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah bukan Mu’min dan bukan pula Kafir, dan bukan munafik, tetapi Fasik. Kemudian terjadilah dialog antara Washil dengan ‘Amr bin ‘Ubaid tentang masalah ini. Ternyata akhirnya ‘Amr bin ‘Ubaid menerima pendapat Washil tersebut.Ia ketika itu lantas meninggalkan kelompok Hasan Bashri, dan mengasingkan diri.Karena itu mereka menyebutnya ‘Mu’tazili’, yakni orang yang mengasingkan diri.Dari sinilah, menurut Abd al-Jabbar mulai munculnya sebutan kaum Mu’tazilah. Pendapat lain menyatakan, bahwa kata Mu’tazilah memang berarti ‘memisahkan diri’, tetapi tidak berarti selalu memisahkan diri secara fisik. Mu’tazilah dapat juga berarti memisahkan diri dari pendapat yang berkembang sebelumya.Karena memang pendapat aliran Mu’tazilah berbeda dari pendapat sebelumnya. Menurut Al-Baghdadi, Washil dan temannya ‘Amr bin ‘Ubaid diusir oleh Hasan Bashri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Bashri dan mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjuhkan diri dari paham umat Islam tentang orang yang berdosa besar.Menurut mereka, orang seperti ini tidak Mu’min dan tidak Kafir. Demikian keterangan al-Baghdadi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan ini (dalam kitabnya al-Farq Bain al-Firaq seperti yang telah dikutip oleh Harun Nasution). Pandangan lain lagi menyebutkan mereka Mu’tazilah, yaitu yang diungkapkan oleh Abual-Husain Muhammad bin Abdurrahman al-Malathi al-Syafi’i (w. 377H) yang mengatakan “mereka menyebut dirinya Mu’tazilah karena ketika Hasan bin Ali bin Abi Thalib, berbaiat dan menyerahkan urusan (khilafah) kepada Muawiyah, mereka I’tizal (mengisolir)dari Hasan, Muawiyah, dan semua orang, padahal mereka adalah sahabat-sahabat Ali. Akhirnya, mereka tinggal di rumah-rumah dan di mesjid- mesjid seraya mengatakan “sebaiknya kita menyibukkan diri mendalami ilmu dan beribadah”, oleh sebab itu mereka disebut dengan Mu’tazilah. Berbeda lagi informasi yang diberikan oleh Abu al-Fida di dalam kitab tarikhnya Akhbar al-Fida, seperti yang dikutip Abdul Aziz Dahlan menyebutkan bahwa sejumlah pribadi yang tidak termasuk golongan Utsman bin ‘Affan tidak mau membaiat ‘Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Mereka karena menjauhkan diri dari membaiat itu disebut Mu’tazilah. Banyak yang menyebut bahwa orang-orang Mu’tazilah adalah kaum rasionalis.Memang beralasan menilai mereka demikain, tetapi sesungguhnya mereka itu pada mulanya digerakkanoleh keinginan menempuh hidup saleh. Justru ada yang berpendapat bahwa nama Mu’tazilah diberikan kepda kedenderungan mereka untuk uzlah atau nyepi untuk menopang kehidupan yang saleh. Sebenarnya istilah Mu’tazilah sudah dikenal sejak pertengahan abad pertama hijriah yaitu gelar kepada orang-orang yang memisahkan diri atau bersikap netral kepada peristiwa-peristiwa politik yang timbul setelah wafatnya Utsman bin ‘Affan. Pertama, pertentangan antara ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair di satu pihak dan ‘Ali di pihak lain.Kedua, pertentangan Ali dengan Muawiyah (perang Shiffin). Di antara orang-orang yang memisahkan diri atau netral itu adalah Sa’ad bin Abi Waqas, Abdullah bin ‘Umar, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, Suhaib bin Sinan, dan Zaid bin Tsabit. Al-Naubati di dalam kitabnya Firaq al-Syiah,menjelaskan setelah Ali diangkat sebagai Khalifah, kelompok umat islam memisahkan diri I’tizal dari Ali, meskipaum mereka menyetujui pengangkatan Ali sebagai Khalifah, mereka ini disebut golongan Mu’tazilah. B. Corak Pemikiran KalamMu’tazilah Adapun corak pemikiran kalam golongan Mu’tazilah adalah cenderung atau lebih megutamakan akal rasio atau akal di bandingkan wahyu. Oleh sebab itu golongan Mu’tazilah diberi nama dengan kaum rasional Islam karena dalam memecahkan permasalahan khusunya masalah teologi bersifat filosofis dan lebih banyak mempergunakan akal dan mengenyampingkan tradisional (nash). Orang-orang Mu’tazilah giat mempelajari filsafat yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama Filsafat Plato dan Aristoteles.Ilmu Logika sangat menarik perhatiannya karena menunjang berfikir logis.Ajaran-ajaran agama yang yang tampaknya bertentangan dengan akal fikiran, Mu’tazilah membuangnya jauh-jauh. Dari Tsabit bin Qurrah diambil teori pemujaan kekuatan akal, dengan akal fikiran semata-mata manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, dengan akal fikirannya pula ia dapat mengetahui baik dan buruk, dan dari Tsabit pula diambil cara-cara pembenaran agama dengan alasan-alasan fikiran. Dalam memahami lima prinsip dasar (Ushul al-Khamsah) ada saja hal-hal kecil yang yang mereka perselisihkan karena karena orang-orang Mu’tazilah menganalisanya di dasarkan atas fikiran-fikiran Yunani. Karena itu sebenarnya tidak terdapat kesatuan aliran yang disebut aliran Mu’tazilah, tetapi yang ada ialah bermacam-macam aliran yang timbul dan berkembang sekitar orang-orang tertentu, sebagaimana halnya dengan bemacamnya aliran Filsafat, seperti: Stoi, Epirus, Pythagoras, dan lain-lain yang kesemuannya dinamakan Filsafat Yunani. C. Ajaran Dasar (Ushul Al-Khamsah) kaum Mu’tazilah Sebagai aliran kalam yang bertumpu pada akal atau rasio, maka Mu’tazilah mempunyai doktrin yang dikenal dengan lima ajaran dasar atau dalam vesi arabnya Ushul al-Khamsah.kelima ajaran tersebut adalah al-Tauhid (kemahaesaan Tuhan), al-Adlu (keadilan), al-Wa’du wa al-wa’id (janji dan ancaman), al-Manzilah bain Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan amr bi al-Ma’ruf wa‘an nahy al-Munkar (perintah untuk berbuat baik dan larangan dari berbuat jahat). Pertama, al-Tauhid, menurut Mu’tazilah ajaran tauhid berarti meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah yang maha esa. Dia merupakan zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Golongan Mu’tazilah menganggap konsep tauhid mereka yang paling murni, sehingga mereka lebih senang disebut sebagai Ahlu al-Tauhid (pembela tauhid). Dalam pemahaman mereka tentang tauhid ini orang-orang Mu’tazilah tidak mempercayai akan adanya sifat-sifat Allah SWT. Sebab dengan menetapkan sifat Allah yang juga kadim seseoramg telah dianggap syirik.Menurut mereka bila seseorang telah menganggap zat Allah memiliki sifat, maka hal ini dianggap telah menyamakan antara zat Allah dengan sifat-sifat-Nya. Atau dengan bahasa lain yaitu ta’addud al-Qudamayakni berbilang yang kadim. Hal semacam ini menurut mereka termasuk perbuatan syirik. Abu Husain al-Khayyat al-Mu’tazili menjelaskan dalam dalam kitabnya al-Intishar, sebagai berikut: ‘jika Allah SWT mengetahui sesuatu dengan ilmu-Nya, maka ilmu-Nya itu bersifat kadim (terdahulu) atau hadits (terbaru). Tetapi tidaklah mungkin ilmunya itu bersifat kadim, karena jika ilmu Allah bersifat kadim maka akan ada dua hal yang bersifat kadim, yaitu zat Allah dan sifat ilmunya, sehinnga akan terjadi ta’addud al-Alihah (banyak Tuhan). Sedangkan yang ajaran yang kedua adalah al-Adlu, menurut kaum mu’tazilah konsep adil adalah bahwa Allah SWT merupakan tuhan yang maha bijak sana dan maha adil. Dia tidak mungkin menghendaki dari hambanya suatu perbuatan Yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri kemudian dia memberikan balasan atas perbuatan terseburt. Menurut mereka, seorang hamba adalah pelaku bagi suatu perbuatan baik atau buruk iman atau kupur dan taat atau maksiat oleh karena itu iaakan dilbalas atas perbuatannya itu. Allah hanyalah memberikan kemampuan kepadanya untuk melakukan perbuatan tersebut dengan paham semacam ini, kaum mu’tazilah sebagai pengikut paham qadariah. Ajaran yang ketiga adalah al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman), mereka berkeyakinan bahwa janji berupa balasan kebaikan dan ancaman berupa siksaan tidak mustahil diturunkan janji Allah tentang pahala atas kebaikan akan terjadi janji siksaan atas kejahatan juga akan terjadi, serta janji menerima taubat yang sungguh juga terjadi. Dengan begitu, barang siapa berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan barang siapa yang berbut kejahatan akan dibalas dengan siksaan yang pediah. Perbuatan dosa tidak diampuni tanpa bertaubat sebagai mana pahala tidak diharamkan terhadap orang yang berbuat baik. Adapun ajaran yang keempat yaitu, al-Manzilah bain al-Manzilatain jika dilihat dari segi bahasa berarti tempat diantara dua tempat atau posisi diantara dua posisi. Adapun yang dimaksud dengan istilah tersebut disini ialah setatus orang islam yang berdosa besar. Orang islam yang berdosa besar, menurut ajaran Mu’tazilah, statusnya bukan mu’min dan bukan pula kafir, sama artinya dengan berada diantara mu’min dan kafir. Ini lah yang dimaksud posisi diantara dua posisi. Ajaran tentang halini berasal dari pendapat Washil bin ‘Atha. Adapun ajaran dasar yang kelima adalah Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahi ‘an al-Munkar (perintah agar mengerjakan kebajikan dan melarang kemungkaran). Dalam prisip mu’tazilah, setiap muslim wajib menegakkan pebuatan yang ma’ruf serta menjauhi perbuatan yang munkar. Berpegang pada ajaran ini, kaum mu’tazilah dalam sejarah pernah melakukan pemaksaan ajaran kepada golongan lain yang dikenal dengan peristiwa mihnah, yaitu memaksakan pendapatnya bahwa al-Quran adalah makhluk dan ciptaan Tuhan. Karena itu Al-Qur’an tidak qadim.Mereka yang menentang pendapat ini wajib dihukum. D. Tokoh-tokoh Mu’tazilah 1. Washil bin ‘Atha al-Ghazzal (689-748 M) Ia lahir di Madinah, pemuka aliran Mu’tazilah. Ia berdiam di Basrah dan berhubungan dengan tokoh-tokoh ilmiyyah termasuk Hasan al-Bashri. Ia beroleh gelar al-Ghazzal (penenun) karena ia gemar sekali berkeliling dalam pasar tenun dan memberikan sumbangan kepada buruh-buruh melarat dalam kilang-kilang tenun. Ia lahir di Madinah al-Munawwarah pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari di nasti Umayyah dan wafat pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II. Karyanya yang masih dijumpai sampai masa kini ialah Rasail (himpunan risalat) di dalam permasalahan ilahiat dan politik. 2. ‘Amru bin ‘Ubaid (699-757) Amr bin Ubaid lahir pada masa pemerintahan Khalifah Walid 1 dari dinasti Umayyah dan wafat pada masa pemerintahan Khalifah al-Manshur dari dinasti Abbasiyah. Ia adalah sahabat karib Washil bin ‘Atha dan bersama Washil iapun ikut memisahkan diri dari halaqah gurunya Hasan al-Bashri. Ia aktip mendalami dan memperkembangkan lima tesis aliran Mu’tazilah. Washil dan ‘Amr beserta murid-muridnya disebut aliran Basrah. 3. Abu Huzail al-Allaf (753-850) Dia adalah seorang tokoh Mu’tazilah paling terkemuka pada zamannya, yakni dari aliran Basrah.Ia masih berusia lima belas tahun sewaktu Amr bin Ubaid wafat. Ia sendiri wafat dekat seratus tahun sepeninggal Washil bin Atha. Ia terlahir pada masa Khalifah al-Saffah dan hidup di bawah sekian banyak Khalifah Abbasiyah dan wafat pada masa Khalifah al-Mutawakkil. Dia juga hidup sezaman dengan al-Kindi dan Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Puncak keharuman nama Abu Huzail al-Allaf berlangsung pada masa pemerintahan al-Makmun. Dan banyak lagi tokoh-tokoh Mu’tazilah. E. Perkembangannya Sekitar dua abad lamanya ajaran-ajaran Mu’tazilah ini berpengaruh, karena diikuti dan didukung oleh penguasa waktu itu. Dikisahkan bahwa Khalifah al-Makmun dari Dinasti Abbasiyyah menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab Negara dan disinggung pula bahwa al-Kindi juga menulis beberapa risalah tentang keadilan, kemahaesaan Tuhan dan perbuatan-Nya, bahkan ia ikut pula membantah paham-paham yang bertentangan dengan mazhab Negara ini berdasarkan pemikirannya. Walaupun begitu kita tidak bias menetapkan secara pasti bahwa al-Kindi adalah seorang Mu’tazili. Karena seseorang baru bisa disebut Mu’tazili apabila ia menerima dan meyakini lima ajaran pokoknya (Ushul al-Khamsah)seperti yang telah dijelaskan diatas. Adapunmasalah-masalah yang diperdebatkan Mu’tazilah antara lain: a. Sifat-sifat Allah itu ada atau tidak b. Baik dan buruk itu ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal pikiran. c. Orang yang berdosa besar akan kekal di neraka atau tidak d. Al-Qur’an itu makhluk atau bukan, e. Perbuatan manusia itu dijadikannya sendiri atau dijadikan oleh Allah Swt f. Allah Swt. Itu bias di lihat diakhirat nanti atau tidak g. Allah itu qadim atau hadis h. Allah Swt wajib membuat yang baik (shilah) dan yang lebih baik (ashlah). Aliran Mu’tazilah yang lahir pada awal abad kedua hijriah ini, pernah menjadi mazhab resmi Negara yakni pada masa Khalifah al-Makmun dan Mu’tazilah mengalami kemunduran pada masa Khalifah al-Mutawakkil.Mu’tazilah mengalami kemunduran karena memaksakan paham al-Quran itu mahluk dan banyak menyiksa para ulama di zamannya, sehingga umat tidak simpati lagi.Tepatnya pada tahun 281 H, al-Makmun menguji para ulama tentang pendapat mereka apakah al-Qur’an itu mahluk atau bukan. Diantara Ulama yang dihadirkan pada waktu itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Bisyr bin Walid al-Kindi, Abu Hasan al-Ziyadi, Ali bin Abu Muqatil, Fadhal bin Ghanim, Ubaidullah bin ‘Amr al-Qawariri, Ali bin al-Ja’di, Sajadah, Dzayyal bin Haitsam, Qutaibah bin Sa’id, Sa’dawih al-Wasithi, Ishaq bin Abi Israil, Ibn Haras, Ibn Aliyyah al-Akbar, Muhammad bin Nuh, Al-Ajili, Yahya bin Abdurrahman al-Umari, Abu Nashr al-Tammar, Abu Ma’mar al-Qathi’i, Muhammad bin Hatim bin Maimun, serta yang lainnya. Ternyata semua yang hadir pada saat itu mengatakan bahwa al-Qur’an adalah mahluk, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal, Sajadah, Muhammad bin Nuh, dan al-Qawariri. Mereka tidak sepakat bahwa al-Qur’an itu mahluk.Akhirnya, mereka semua dibelenggu. F. Sekter-sekte aliran Mu’tazilah Seperti yang disinggung diatas Mu’tazilah memiliki banyak sekali tokoh-tokoh yang ikut dalam mengembangkan aliran ini, karena itupula diantara tokoh-tokoh tersebut tidak semuanya sama dalam hal pemikiran mereka sehingga menimbulkan sekte-sekte kecil bagi aliran Mu’tazilah. Diantara sekte-sekte Mu’tazilah adalah seperti yang ditulis oleh al-Syahrastani : 1. Al-Washiliyyah, sekte ini dihubungkan dengan tokoh utama Mu’tazilah yaitu Abi Hudzaifah Washil bin ‘Atha al-Ghazzal. 2. Al-Hudzailiyyah, nama sekte ini diambil dari pelopornya yakni Abi al-Hudzail Hamdan bin Hudzail al-‘Allaf, seorang guru besar Mu’tazilah di Bashrah. 3. Al-Nazhzhamiyyah, pendirinya adalah Ibrahim bin Siyar bin Hani al-Nazham, wafat pada tahun 231 H. 4. Al-Khabithiyyah, sekte ini dikaitkan dengan nama Ahmad bin Khabith (W. 232 H). 5. Al-Hadtsiyyah, tokohnya adalah al-Fadhl al-Hadtsy (W. 257 H). Al-Khathibiyyah dan al-Hadtsiyyah disatukan al-Syahrastani dalam satu bahasan. 6. Al-Bisyriyyah, sekte ini tidak lepas dari asuhan seorang tokoh yang bernama Bisyr bin Mu’tamar (W. 226), ia adalah termasuk diantara tokoh Mu’tazilah yang paling terkemuka. 7. Al-Mu’ammariyyah, pendirinya adalah Mu’ammar bin ‘Ibad al-Sulamy (W. 220 H). 8. Al-Mardariyyah, pendirinya adalah ‘Isa bin Shabih al-Makny (W. 226 H). 9. Al-Tsumamiyyah, nama aliran ini juga dihubungkan dengan tokohnya yaitu Tsumamah bin Asyras al-Namiry (W. 213 H). 10. Al-Hisyamiyyah, sekte ini dipelopori oleh Hisyam bin ‘Amr al-Fuwathy (W. 226 H). 11. Al-Jahizhiyyah, sekte ini tokohnya adalah ‘Amr bin Bahr Abi ‘Utsman al-Jahizh, ia juga adalah orang yang paling berpengaruh dalam Mu’tazilah dan banyak menerbitkan buku-buku Filsafat. Ia hidup di masa pemerintahan Khalifah al-Mu’tashim dan al-Muwakkil.Adapun keterangan wafatnya al-Syahrastani tidak mencantumkannya. 12. Al-Khayyathiyyah, pendiri sekte ini bernama Abi Husain bin Abi ‘Amr al-Khayath (W. 300 H), ia adalah pengarang kitab Al-Intishardan Al-Rad ‘ala ibn al-Rawandyisinya mempertahankan tentang aliran Mu’tazilah. 13. Al-Ka’biyyah, dipelopori oleh Ustadz Abi Qasim bin Muhammad al-Ka’biy (W. 319 H), dua sekte ini al-Ka’biyyah dan Khayyathiyyah adalah sekte Mu’tazilah yang berkembang di Baghdadatas satu mazhab, sehingga al-Syahrastani menyatukan pembahasan tentang keduanya. 14. Al-Juba’iyyah, sekte ini diotaki oleh salah seorang guru besar Mu’tazilah yaitu Abi Ahmad bin Abd al-Wahab al-Jubba’iy (W. 295 H). 15. Al-Bahsyamiyyah, sekte ini dihubungkan dengan anak al-Jubba’iy yakni Abi Hasyim Abd al-Salam (W. 321 H), kedua sekte inipun dibahas dalam satu bab oleh al-Syahrastani, keduanya disebut Mu’tazilah aliran Bashrah. PENUTUP Betapa menariknya pembahasan mengenai aliran mu’tazilah ini paham-paham rasional yang berhaluan filosofis pun tersaji dalam setiap ajaran yang mereka kemukakan. Bagi mereka akal atau rasio adalah metode yang paling utama dalam memecahkan setiap permasalahan termasuk masalah teologi. Aliran yang berkembang pesat pada masa khalifah al-Makmun ini sempat menjadi mimpi buruk bagi para ulama di zamannya seputar lontaran kaum Mu’tazilah bahwa al-Qur’an itu makhluk, Ulama sekaleber Imam Ahmad bin Hanbal pun tak lepas dari kepahitan menghadapi doktrin kaum mu’tazilah. Adapun mengenai sejarah lahirnya serta penamaan kaum Mu’tazilah sangat sulit untuk dipastikan yang mana yang benar di antara banyak versi yang telah disebutkan.Namun setidaknya dari pemaparan di atas kita sudah mengetahui dan mungkin mempunyai pandangan sendiri tentang seluk beluk aliran Mu’tazilah. Lima ajaran dasar Mu’tazilah merupakan modal seseorang untuk menganut atau menceburkan diri seseorang ke dalam aliran Mu’tazilah.Jadi setelah anda membaca paparan makalah ini anda berhak menilai diri anda apakah ada bibit ajaran Mu’tazilah yang menghinggapi diri dan itu hanya anda yang tahu. BIBLIOGRAFI Al-Syahrastani,Muhammad Abd Al-Karim, Al-Milal wa Al-Nihal,kairo: Muassasat al Halabi, 1968. Al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, terj. Fachry, Jakarta: Hikmah, 2010. Asmuni, M. Yusran,Dirasah Islamiyyah 2: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran,Jakata: Raja Grafindo Persada, 1996. Al-Hafni,Abdullah Mu’in,Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muhtarom, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006. Dahlan,Abdul Aziz,Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam: Bagian 1 Pemikiran Teologis,Jakarta: Beunebi Cipta, 1987. Hanafi,Ahmad,Theologi Islam (Ilmu Kalam),Jakarta: Bulan Bintang, 1982. Hadariansyah AB, Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, Banjarmasin: Antasari Press, 2010. Nasution,Harun,Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986. Nasir,Sahilun A.,Pengantar Ilmu Kalam,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. ----------------------Pemikiran Kalam (Teologi Islam),Jakarta: Rajawa Pers, 2010. Subhani,Ja’far,Al-Milal wa Al-Nihal: Studi Tematis Mazhab Kalam, terj. Hasan Musawa, Pekalongan: Penerbit Al-Hadi, 1997. Sou’yb,M. Joesoef,Mu’tazilah: Peranannya dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997. Tim penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, jilid 5. Rahman,Budhy Munawar- ddk, Ensiklopedi Nurcholis Madjid Pemikiran di Kanvas Peradaban, Jakarta: Mizan, 2006, jilid 4. Zahrah,Muhammad Abu,Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, terj. Abd Rahman Dahlan Jakarta: Logos, 1996. Zar,Sirajuddin,Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya,Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Kamis, 19 April 2012

Jalaluddin As-suyuthi

A. Biografi Imam al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi Nama lengkap beliau adalah: ابو الفضل جلال الدين عبد الرحمن بن الكمال أبي بكر بن محمد بن سا بق الدين بن الفخر بن عثمان بن ناظرالدين محمد بن سيفالدين حضر بن نجم الدين أبي صلاح أيوب بن ناصرالدين محمد بن الشيخ همام الدين الهمام الخضيري اللأسيوطي. Adapun kuniyahnya Imam As-Suyuthi adalah Abu al-Fadhl sedangkan gelarnya adalah Jalaluddin As-Suyuthi. Beliau dilahirkan setelah magrib pada malam ahad di awal bulan Rajab tepatnya pada tahun 849/۸۶۹ hijriah, di Kairo, Mesir. Imam As-Suyuthi pernah melakukan perjalanan kebeberapa negeri seperti Syam, Hijaz, Yaman, Hindi, Magrib, dan Takrur hanya untuk menimba ilmu. Ayah Imam As-Suyuthi meninggal dunia ketika umur beliau menginjak lima tahun tujuh bulan. Ayanya menyandarkan wasiatnya kepada para jama’ah, diantara mereka adalah Kamal bin al-Hamam, Imam Suyuthi telah mengkhatamkan Al-Qur’an ketika umurnya baru delapan tahun, dan ia banyak menghafal dari matan-matan hadis, dan ia mengambil dari banyak guru, jumlah mereka itu menurut muridnya al-Dawudi mencapai 51 orang, dan karya-karya As-Suyuthi mencapai 500 karangan (kitab)._imam Suyuthi mempunyai keistimewaan dalam kecepatannya mengarang sehingga muridnya al-Dawudi menceritakan: ‘aku melihat Syaikh (Imam As-Suyuthi) sungguh menulis dalam satu hari sebanyak tiga bab karangan’. Adapun mengenai nisbah beliau kepada الخضيري beliau berkomentar bahwa tidak ada yang lebih mengetahuinya kecuali al-khudairiyah (الخضيرية), yaitu tempat kering di Baghdad, dan zohirnya nisbah pada tempat kering tersebut. Imam as-Suyuthi pada umur delapan tahun sudah hapal Alquran, kemudian beliau menghapal kitab al-umdah, Manhaj, Fikih, Ushul, dan Alfiyah bin Malik. Beliau mulai berkecimpung dalam kesibukan dengan ilmu dari tahun 864 H, yaitu ketika umur beliau lima belas tahun. Beliau belajar Fikih dan Nahwu serta belajar ilmu Faraidh dari Syeikh Syihabuddin al-Syarimasahi dan beliau belajar bersama Syaikhul Islam Ilmuddin al-Bulqini dalam bidang Fikih sampai beliau meninggal dunia. Beliau membacakan kepada anaknya al-Bulkini dari awal al-Tadrib sampai al-Wakalah, Imam Sayuthi pun telah mendengarkan kepadanya dari awal al-Hâwi al-Shagîr sampai berkali-kali, beliau juga mendengar dari Bulkini isi kitab al-Manhâj dari awal sampai bab zakat, dan sebagian dari kitab al-Raudhah dari bab Qadha, serta sebagian syarah al-Manhâj Imam Zarkasyi.- beliau belajar bersama Syaikhul Islam Syarafuddin al-Manawi lalu beliau membacakan kepadanya sebagian dari isi kitab al-Manhâj, beliau juga belajar syarah al-Bahjah dan Hasyiah Tafsir al-Hanafi,di samping itu beliau juga belajar hadis dan Bahasa Arab kepada Taqiyuddin al-Hanafi. Beliau menekuninya dalam waktu empat tahun, dan beliau sempat belajar bersama al-allamah Ustadz Mahyuddin al-Kafiji selama 14 tahun, beliau belajar darinya berbagai macam ilmu, mulai dari Tafsir, Ushul, Bahasa Arab, Ma’ani, dll. Imam as-Suyuthi adalah orang yang paling alim pada zamannya dibidang ilmu hadis dan berbagai cabangnya, rijalul hadis, gharib, matan hadis, sanad, serta istimbat kepada hukum-hukumnya. Beliau telah mengkhabarkan bahwa dirinya telah menghapal dua ratus ribu hadis. Beliau berkata: Seandainya aku mendapati lebih banyak hadis niscaya akan lebih banyak yang bisa aku hapal. Manakala umur beliau mencapai 40 tahun, beliau mengosongkan segala aktivitasnya, hanya untuk beribadah, dan beliau berpaling dari dunia dan masyarakatnya, beliau juga meninggalkan untuk berfatwa dan tidak juga menjalani ativitas mengajar, beliau mengemukakan semua itu dalam karyanya yang berjudul al-Tanfis. Imam as-suyuthi bermukim di Raudhah al-Miqyas dan tidak berpindah sampai beliau meninggal dunia. Beliau mempunyai sifat-sifat yang baik dan karamah yang banyak, beliau juga banyak sekali mempunyai pengetahuan syair, beliau menguasai secara mendalam faedah-faedah keilmuan, dan hukum-hukum syara’. Adapun Suyuth adalah nama negeri kelahiran ayahnya. Beliau belajar dan menimba berbagai macam ilmu pengetahuan dari para tokoh ulama pada masa itu, sehingga beliau banyak menguasainya dan menjadi yang paling menonjol di antara teman-temannya, sehingga namanya pun kemudian menjadi terkenal di kalangan kaum muslimin._ Beliau pernah menjabat menjadi mufti selama beberapa tahun dan mengajar di madrasah Al-Syaikhuniyah, kemudian di madrasah Al-Bibersiyah. Pada usia tuanya beliau banyak beristirahat dan ber’uzlah di rumahnya, yaitu di Raudhah, beliau menekuni ibadah dan penulisan. Banyak sekali ulama yang membuat biografi Imam as-Suyuthi, di antara mereka adalah muridnya Al-Hafidz al-Dawudi membuat biografi tersendiri dari kitab gurunya Al-Hafidz as-Suyuthi, As-Suyuthi sendiri juga membuat biografi tentang dirinya dalam banyak kitab, dan salah satu kitab itu menyebutkan sesuatu yang tidak dijelaskan dalam kitab lainnya. Banyak juga yang membuat biografi beliau dari kalangan pendukung bahkan penentang beliau, demikian juga orang yang bersikap moderat di antara keduannya. Di antara ulama dahulu yang membuat biografi beliau adalah Imam Ibnu Iyas dalam kitab sejarahnya. Juga pemilik kitab al-Kawâkib al-Sirâh, dan Abdul Ghani al-Nablisy. Salah seorang dari ulama modern yang membuat biografi Imam Sayuthi adalah Imam al-Muhaqqiq Sayid Abdul Hay al-Kanani. Imam Sayuthi merupakan puncak dari tokoh-tokoh yang berpengaruh sehingga banyak yang mengomentarinya baik orang yang mencela maupun orang yang memujinya. Beliau adalah orang yang produktif dalam karyanya, beliau juga memiliki daya ingat yang kuat dan semangat tinggi sejak kecilnya. Beliau belajar dan nyantri kepada guru-gurunya yang jumlahnya mencapai 600 orang. Keagungan dan kemuliaan yang didapat as-Suyuthi, serta lautan ilmu-ilmu yang begitu luas, tak lepas dari do’a orang-orang shalih dan guru-guru beliau yang senantiasa menjadi pembimbingnya, hal ini beliau ungkapkan sendiri, katanya: “semasa ayahku masih hidup, aku dibawa kepada Syaikh Muhammad al-Majdzub, yaitu seorang wali yang terkenal di dekat al-Masyhad al-Nufaisi, lalu beliau memberkatiku.- Manakala aku berhaji, dan minum air zam-zam karena beberapa perkara di antaranya: 1). Supaya di dalam fikih aku disampaikan kepada derajat guruku Sirajuddin al-Bulqini, 2). Dan di bidang hadis mencapai derajat al-Hafidz Ibnu Hajar. Di samping ilmunya yang banyak, ia adalah seorang yang mulia, dermawan, shalih, tidak pernah berambisi pada kekuasaan dan tidak pernah minta bantuan kepada pemerintah atau raja-raja. Diriwayatkan bahwa Sultan al-Ghuri pernah mengirim kepadanya seorang budak bersama uang seribu dinar. Tetapi ia menolak uang seribu dinar tersebut dan menerima budak untuk dimerdekakannya dan dijadikan sebagai pelayan mesjid Nabawi, ia sering dikunjungi oleh para penguasa, Amir dan menteri dengan membawa berbagai pemberian dan hadiah, namun ia selalu menolaknya. Dia juga berkata kepada para pejabat, “jangan datang kepadaku selalu membawa hadiah, karena Allah telah mencukupiku dari hal seperti itu. Dia tdak mondar-mandir kepada raja, juga tidak kepada lainnya. Raja selalu mengundangnya dan dikatakan kepadanya: Bahwa sebagian wali Allah mondar-mandir menemui raja-raja dan pejabat dalam kebutuhan manusia. Dia menjawab: mengikuti ulama salaf serta tidak mondar-mandir kepada raja dan pejabat adalah lebih selamat bagi agama orang Islam. Imam as-Suyuthi berkata: “Aku dianugerahi oleh Allah lautan dalam tujuh ilmu, yaitu: Tasir, Hadis, Fikih, Nahwu, Ma’ani, Bayan dan Badi’i. dengan banyaknya ilmu yang dikuasai, Imam as-Suyuthi telah sampai pada derajat yang tinggi, beliau menghimpun dengan tangannya sendiri berbagai macam kitab dan karangan, maka jadilah beliau seorang yang mempunyai pengetahuan dan pandangan yang luas, sampai-sampai beliau diberi gelar “Ibn kutub”(إبن الكتب). Imam as-Suyuthi tidak akan pernah menjadi apa-apa tanpa peran seorang guru, berikut adalah di antara guru-guru beliau yang masyhur: Syaikh Ilmuddin al-Bulkini, kepadanya lah beliau belajar Fiqih asy-Syafi’I, Syaikh Syarafuddin al-Manawi guru beliau dalam bidang ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab, Syaikh Mahyuddin al-Kafiji (W. 879 H), Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Musa al-Sairami, kepadanya beliau membaca Shahih Muslim dan al-Syifa serta yang lainnya, dan Taqiyuddin al-Hanafi guru Imam as-Suyuthi dibidang hadis dan Bahasa Arab. Adapun murid-murid Imam as-Suyuthi yang menjadi pelengkap bagi kemasyhuran beliau di antara mereka yang terkenal adalah: 1. Muhammad bin Ali al-Dawudi (W. 945 H) 2. Zainuddin Abu Hafash Umar bin Ahmad al-Syima’i (W. 936 H) 3. Muhammad bin Ahmad bin Iyas (W. 930 H) 4. Muhammad bin Yusuf al-Syami al-Shalihi al-Mishri (W. 942 H) 5. Ibnu Thulun Muhammad bin Ali bin Ahmad (W. 953 H) 6. Al-Syarani, Abdul Wahab bin Ahmad (W. 973 H), beliau wafat di Kairo. Imam as-Suyuthi diklasipikasikan sebagai salah seorang aulia Allah oleh Al-Nabhai dalam kitabnya Jami’ Karamat al-Auliya, salah satu cerita yang menarik adalah Imam as-Suyuthi pernah melihat Nabi saw. di dalam mimpi, dan beliau bertanya kepada nabi tentang sebagian hadis, dan Nabi saw. berkata kepadanya “bawalah kemari yaa syaikhussunnah”. Dia melihat dirinya ini di dalam mimpi dan Nabi berkata kepadanya: “Bawalah kemari yaa syaikhul hadis”. Muridnya al-Syaikh Abd al-Qadir al-Syadzili di dalam kitab terjemahnya menyebutkan bahwa gurunya as-Suyuthi berkata: “Aku melihat Nabi saw di waktu jaga, lalu nabi berkata kepadaku “yaa syaikh al-hadis”, lalu aku bertanya kepada beliau: “yaa Rasulallah, apakah akuini termasuk golongan ahli surga?” Nabi menjawab: yaa._ Dan Syaikh Abd al-Qadir bertanya kepada gurunya: “yaa tuanku, berapa kalikah engkau melihat Nabi saw. dalam keadaan jaga? Beliau menjawab: lebih dari tujuh puluh kali. Di akhir hayatnya as-Suyuthi ditimpa sakit keras, dan di tangan kirinya terdapat bengkak, akhirnya Imam al-Hafidz al-Jalil as-Suyuthi harus mengakhiri serangkaian warna kehidupannya pada waktu menjelang subuh, malam Jum’at 29 Jumadil Awal pada tahun 911 H. sang imam besar abad ke 10 berpulang ke rahmatullah, di rumahnya di Raudhah al-Miqyas. B. Karya-karya al-Hafizd as-Suyuthi Kitab-kitab karya beliau mencapai 500 kitab , menurut Brokelmen seorang orientalis Jerman menghitungnya sekitar 415 buah karya tulis as-Suyuthi, ada yang sudah diterbitkan dan ada pula yang masih dalam bentuk manuskrip. Ibnu Ilyas berkata: karya tulis beliau mencapai 600 buah membahas berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam, Arab, dan Sejarah. Sebagian dari kitab as-Suyuthi adalah karangan asli, sebagian dari rangkuman kitab-kitab lain sebelumnya, sebagian lagi adalah kumpulan tulisan dan susunan. Karakteristik tulisannya terdapat di semua kitabnya, dia memperhatikan karakteristik penulisan yang mudah, maka karya-karyanya tidak ditemukan komentar, baik yang karangan, himpunan atau susunannya. Ibnu Imad berkata sebagaimana yang dikutip Mani Abd Halim Mahmud dalam beberapa catatan, bahwa muridnya al-Hafidz as-Suyuthi memiliki nama-nama kitab karyanya yang besar, yang utuh dan terhimpun, maka jumlahnya menghabiskan angka 500 karya. Karya-karyanya popular di seantero bumi baik timur dan barat, dan itu adalah mukjizat besar dalam kecepatannya menyusun kitab. Abul Hasanat, Muhammad Abdul Hay al-Kanwi dalam kitabnya Hasyiyah Muwaththa (seperti yang telah dikutip Halim Mahmud) setelah menuturkan biografi Imam Suyuthi mengatakan: “Karya-karyanya semua membuat faidah-faidah yang luas, hikmah yang mulia, semuanya digambarkan oleh kedalaman ilmunya, keluasan pandangan dan kejelian pemikirannya. Dan terbukti ia adalah termasuk dari pembaharu agama Islam di awal abad ke-10 dan akhir abad ke-9 H. Sebagaimana ia mengakuinya sendiri, dan kebenarannya disaksikan ulama yang datang sesudahnya seperti Ali Alqari almakki dalam kitab al-Mirat Syarh al-Misykat. Sayyid Muhammad Abdul Hay al-Kanani mengatakan: di Mesir penuh dengan kumpulan-kumpulan karya as-Suyuthi, di tahun 904 sebelum 7 tahun dari wafatnya tercatat karyanya berjumlah 538, jumlah karyanya dibidang tafsir sebanyak 73, dalam hadis 205, dibidang mushthalah al-hadis 32, fiqih 71, ushul fikih dan tasawwuf sebanyak 20, lughah, nahwu dan tashrif 66, al-ma’ani, bayan dan badi’ 6, kitab yang dihimpun dari berbagai disiplin ilmu 80, al-Tabaqat wa Tarikh 30, dan jami’ 37. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa buah karya Imam as-Suyuthi sangatlah banyak, mencapai 500 buah menurut al-Dawudi, dan 600 buah menurut Ibnu Ilyas. Di antara karya-karya Imam as-Suyuthi yang dapat ditemukan antara lain : 1. Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur 2. Al-Ashbah wa al-Nazhair 3. Hamm al-Awami’, Syarah Jum’ul Jawami’ 4. Al-Jami’ al-Kabir fi al-Hadis 5. Ainul Isbah fi Ma’rifah al-Shah-abah 6. Duur al-Shuhbah fi Man ‘Asya min al-Shahabah, Miatan wa ‘Isyrin 7. Rih al-Nasrin fi Man ‘Asya min al-Shahabah, Miatan wa ‘Isyrin 8. Is’af al-Mabda bi Rijal al-Muwaththa 9. Kasyf al-Talbis ‘an Qalbi Ahl al-Tadli 10. Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi 11. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an 12. Tarikh al-Khulafa’ Masih banyak lagi karya-karya beliau yang tidak tertuliskan di sini. C. Tafsir Imam as-Suyuthi Al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur Imam as-Suyuthi mempunyai banyak karya di bidang tafsir di antara karyanya yang paling terkenal adalah kitab Kitab al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur, biasanya terkenal dengan sebutan Durr al-Mantsur saja. Seperti namanya kitab ini merupakan kitab yang menghimpun tafsir bi al-ma’tsur, tidak terdapat di dalamnya pendapat-pendapat pribadi imam Suyuthi yang memberi syarah, tetapi ia konsisten agar tafsirnya merupakan kumpulan dari hadis-hadis Rasulullah saw. dalam ayat Alquran, dan dalam serangkaian riwayat dari para sahabat. Sebelum menyusun kitab Durr al-Mantsur, Imam as-Suyuthi terlebih dahulu menghimpun suatu kitab tafsir yang bersambung kepada Rasulullah, di dalamnya terdapat sepuluh ribu hadis, baik hadis marfu’ maupun hadis mauquf, dan selesai dalam empat jilid, kitab tersebut beliau namai Tarjuman al-Qur’an. Kemudian kitab Tarjuman al-Qur’an yang diselesaikan dengan memuat sanad-sanad riwayat yang ma’tsur tersebut diringkas oleh Imam Suyuthi dengan menghilangkan sanad-sanadnya, dan mencukupinya dengan redaksi hadis-hadis yang marfu’ dan mauquf. Hasil dari ringkasan kitab tersebut ada di dalam kitab Durr al-Mantsur. Imam Sayuthi berkata dalam muqaddimah Durr al-Mantsur tafsirnya: Wa ba’du, manakala setelah aku menyusun kitab Tarjuman al-Qur’an. Dia merupakan tafsir yang bersambung dari Rasulullah dan para sahabatnya, dan Alhamdulillah selesai dengan sempurna dalam beberapa jilid, maka apa yang aku datangkan di dalamnya dari atsar dengan sanad-sanad kitab yang ditakhrij darinya. Aku berpendapat bahwa keterbatasan hasrat dari mencapainya, dan kegemaran mereka dalam meringkas matan-matan hadis tanpa isnad dan tidak panjang lebar, maka aku merangkum darinya dengan ringkasan pada matan atsar, yang bersumber pada riwayat dan takhrij kepada kitab yang mu’tabar.Aku namai kitab tersebut al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur. As-Suyuthi mengarang kitab tafsirnya kurang lebih tiga belas tahun sebelum wafatnya._ selesai pada hari raya ‘idul fitri tahun 898. Di dalam kitab Durr al-Mantsur semuanya memuat riwayat-riwayat yang ma’tsur dalam tafsir bi al-Ma’tsur, as-Suyuthi mengambil riwayat-riwayat tersebut dari berbagai kitab-kitab hadis, mulai dari shahih, sunan dan musnad, dan juga dari mushannaf-mushannaf yang menghimpun pendapat-pendapat para sahabat dan tabi’in. seperti Mushannaf Abdurrazzaq, Ibnu Abdi Syaibah, dan kitab-kitab tafsir bi al-Ma’tsur yang bersambung, seperti tafsir Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir, Ibnu Mardawaih, Abd bin Hamid dan lain-lain. D. Metode as-Suyuthi dalam Tafsirnya Senada dengan namanya, karya tafsir as-Suyuthi tergolong bi al-Ma’tsur karena secara keseluruhan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran tafsir ini menggunakan penjelasan nabi maupun sahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadis dan tafsir. Sistematika tafsir ini mengikuti tartib mushhaf.Pada awal pemahasan dicantumkan ayat-ayat yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan asbabun nuzul dan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan penjelasan nabi atau sahabat berkenaan dengan ayat-ayat secara sistematis. Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode tahlili dengan bentuk bi al-ma’tsur.Dalam menyusun tafsirnya, Imam Suyuthi mempunyai metode yang terbilang berbeda dari lazimnya mufassir bi al-Ma’tsur lainnya. Bila disimpulkan, metode Imam as-Suyuthi dalam kitab Durr al-Mantsur maka sebagai berikut: 1. Beliau di dalam tafsirnya memuat riwayat-riwayat dari para ulama salaf tanpa menerangkan kedudukan riwayat tersebut, apakah shahih atau dha’if, dengan kata lain riwayat tersebut masih tercampur baur akan kualitasnya. Beliau juga tidak menjelaskan atau mengkritik riwayat-riwayat tersebut, yang menurut pengakuan beliau riwayat-riwayat tersebut bersumber dari kitab-kitab yang ditakhrij. Di antara kitab-kitab tersebut adalah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan an-Nasa’I, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ahmad bin Hambal, serta kitab-kitab yang lainnya seperti yang ditulis Ibnu Jarir al-Thabari, Ibn Abi Hatim, Abdullah bin Hamid, Ibn Abi Dunya, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibn Mundzir, Ibn Mardawaih dan lain-lain. 2. Dalam riwayat-riwayat atau atsar dan hadis-hadis yang menjadi penafsiran bagi ayat, Imam as-Suyuthi meringkas sebagian jalur periwayatnya (sanad). Seperti dalam riwayat berikut ini: اخرج ابو يعلى و ابن ابي حاتم عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم, ما من عبد يموت لا يشرك با لله شئا الا حلت له المغفرة.... 3. Pada penafsirannya as-Suyuthi konsisten memberi penjelasan terhadap ayat yang dibahas dengan riwayat-riwayat hadis maupun atsar. Beliau tidak menafsirkan ayat dengan pemikiran pribadinya atau pendapat-pendapat yang menguatkan periwayatan tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir. Itulah yang kami maksud dengan berbeda dari mufassir bi al-Ma’tsur lainnya. Imam as-Suyuthi sama sekali tidak memberikan komentar baik dari sisi bahasa, unsur I’jaz, dan balaghah, maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum, serta tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir pada zamannya. Belian hanya mencantumkan riwayat-riwayat yang diawali dengan kata akhraja dilanjutkan dengan redaksi yang terkait dengan penjelasan ayat. Daftar pustaka al-Suyûthî , Jalâl al-Dîn, Al-Dûrr al-Mantsûr fî Tafsîr bî al-Ma’tsûr, Bairut: Dâr al Fikr, 1993, jilid 1. ----------, Al-Itqân fî Ulûm Al-Qur’an, Bairut: Muassasat al-Kutûb al-Tsaqâfiyah, 1997,jilid 1. ----------,Mukhtashar al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq dengan judul, “Apa itu Al Qur’an / Imam as-Suyuthi, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. ---------Al-Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Bairut: Maktabah al-Kautsar, 1418 H. ---------Miftah Jannah fi Ihtijaj bi al-Sunnah, penerj. Saifullah dengan judul “Kontra atas Penyimpangan Sumber Hukum Orisinil, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. al-Khalidi, Sholah, Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin, Damsyiq: Dar al-Qalam, 2008. al-Nabhani, Yusuf bin Ismail, Jami’ Karamat al-Auliya’, Bairut: Maktabah al-kautsar, 1418 H, Juz 1. al-Dzahabî ,Muhammad Husain, Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Kairo: tanpa ket. Tempat, 1976, jilid 1. Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. ‘Ubaidu, Hasan Yunus, Dirasat wa Mabahits fi Tarikh al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, Kairo: Jamiah al-Azhar, 1991.

Jumat, 13 April 2012

metodologi az-Zamakhsyari dalam kitab al-kasyaf

Sosok Imam Zamakhsyari

    Dia adalah Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Di lahirkan pada 27 Rajab 467 H. Di Zamakhsyar, sebuah perkampungan besar di kawasan khawarizmi (Turkistan). Dia mulai belajar di negeri sendiri, kemudian di Bukhara, dan belajar sastra kepada Syeih Mansyur Abi Mudhar. Kemudian pergi ke Mekkah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jarullah (Tetangga Allah). Dan selama tinggal di kota Mekkah itulah dia menulis Al-Kasysyâf ‘An Haqâ’iqi Gawâmidit Tanzil Wa ‘Uyûnil Aqâwil Fi Wujûhit Ta’wil. Dia wafat pada 538 H, di Jurjaniah Khawarizm setelah kembali dari Mekkah . Beliau juga pernah ke Baghdad, Khurasan dan Quds (Palestina). Imam Zamakhsyari pernah tinggal beberapa lama di Quds, bahkan dikatakan beliau mengarang kitab al-kasyaf di sana. Beliau menghabiskan waktu dalam mengarang kitab al-kasyaf lamanya seperti lama masa khalifah Abu Bakar, atau dengan kata lain selama dua tahun beberapa bulan .
Dalam hal ini, imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” (IV:78) berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasysyaaf karyanya.”

Keilmuan dan Karyanya
    Zamakhsyari adalah salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’anai dan bayan. Dia juga merupakan ulama yang genius dan sangat ahli dalam bidang ilmu nahwu, bahasa, sastra dan tafsir. Pendapat-pendapatnya tentang ilmu bahasa arab diakui dan dipedomani oleh para ahli bahasa karena keorisinilan dan kecermatannya.
Bagi orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balaghah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang di kutip dari Zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya mereka mengatakan “Zamakhsyari telah berkata dalam kitab al-kasysyaf atau dalam asasul balaghah...” Ia adalah orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa arab, bukan tipe orang yang suka mengikuti langkah orang lain yang hanya menghimpun atau mengutip saja, tetapi dia mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya di tiru dan diikuti oleh banyak orang. Dia menpunyai banyak karya dalam bidang hadits, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain sebagainya. Diantara karangannya adalah :
•    Al-Khasysyâf, tentang Tafsir Al-Qur’an
•    Al-Fâ’iq, tentang Tafsir Hadits
•    Al-Minhâj, tentang Ushul
•    Al-Mufassal, tentang Nahwu
•    Asâsul Balâghah, tentang Bahasa
•    Rû’usul Masâ‘ilil Fiqhiyah, tentang Fiqh
Kitab al-khasysyaf karya az-Zamakhsyari adalah sebuah kitab tafsir paling masyhur diantara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bir-ra’-yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-alusi, Abus Su’ud, an-Nasafi dan para mufassir lain banyak mengutib dari kitab tersebut, tetapi tanpa menyebut sumbernya .

Kitab Al-Kasyaf Lil Zamakhsyari
    Pada kebiasaannya orang-orang menyebutnya dengan kitab Al-Kasyaf Lil Zamakhsyari. Ini adalah kitab yang sangat berpengaruh. Pengarangnya memberikan dua sifat dan dia sebutkan kedua sifat itu tanpa ragu. Sifat pertama adalah tafsir yang beraliran mazhab mu’tazilah. Bahkan, pengarangnya sendiri sampai mengatakan: “apabila kamu iangin minta izin dengan pengarang al-kasyaf ini maka sebutlah namanya dengan Abul Qosim Al-mu’tazili” .
    Dari kalimat pertama dalam tafsir ini sudah menunjukkan adanya indikasi tentang mu’tazilah. Dari pertama sampai akhir. Imam Zamakhsyari selalu berpegang dengan mazhab mu’tazilah dalam penfsirannya. Padahal Alquran bukanlah sebuah kitab mazhab. Apabila Alquran ditafsirkan dengan landasan sebuah aliran maka nilai kemurniannya sudah hilang. Maka dari itulah al-kasyaf mendapat banyak kritikan dari para ulama  Ahlusunnah .
    Sifat kedua yang dimiliki tafsir ini adalah keutamaan dalam nilai bahasa arab, baik dari segi I’zaj Alquran, Balaghah, dan  Fashahah, sebagai bukti jelasnya  Alquran diturunkan dari sisi Allah SWT. Bukan buatan manusia dan mereka tidak akan mampu meniru seumpamanya sekalipun mereka saling tolong-menolong dalam melakukannya. Dalam hal ini, Imam Zamakhsyari sangat mempersiapkannya dengan matang sebelum beliau mengarangnya.
    Ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam kitab al-Kasyaf, antara lain:
Dalam setiap tafsir ayat Alquran tidak ada pengaruh batin yang didapatkan oleh pengarang. Dalil-dalil ayat tersebut tidak bisa memalingkannya pada kebenaran, bahkan Zamakhsyari memalingkan makna tidak sesuai dengan zahirnya. Ini merupakan mengada-ada kalam Allah SWT. Lebih baik seandainya sedikit saja, tetapi pada kenyataannya dia membahasnya secara panjang lebar agar tidak dikatan lemah dan kurang. Dalam hal ini, dapat kita lihat bahwa penafsiran dalam kitab itu bercampur dengan pengaruh aliran mu’tazilah. Ini adalah pengaru cacat yang sangat besar.
    Kritik lain terdapat pada pencelaan Imam Zamakhsyari terhadap para wali Allah SWT. hal ini karena ia lupa tehadap jeleknya perbuatan ini dan karena tidak mengakui adanya hamba Allah SWT seperti itu. Alangkah indah ungkapan Imam  al-Razi dalam kritikannya pada imam Zamakhsyari tehadap yang demikian. Al-Razi berkata dalam tafsir ayat “allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya (QS Al-maidah [5]:54) “dalam hal ini, pengarang al-kasyaf telah menceburkan dirinya dalam kesalahan dan bahaya karena telah mencela kekasih Allah SWT dan telah menulis sesuatu yang tidak layak dan sesuatu kejelekan terhadap mereka yang dicintai Allah SWT. dia sngat berani melakukan hal ini, padahal tulisan ini dia lakukan ketika menafsirkan ayat-ayat Allah SWT yang Majid”.
     Kritikan lain terhadap kitab ini terdapat banyaknya penyebutan syair dan amtsal. Padahal kedua hal tersebut adalah sebuah nilai canda dan humor yang tidk pantas dengan syariat dan akal, apalagi pada mereka penegak keadilan dan penegak tauhid .
    Kritikan lainnya adalah penyebutan Ahlusunnah dangan kata-kata kotor. Terkadang disebut dengan golongan ¬mujabbaroh (pemaksa), bahkan terkadang dikatakan dengan kaum kafir dan kaum yang menyimpang. Pahahal ucapan seperti ini hanya pantas keluar dari golongan mereka yang bodoh, bukan dari ulama yang pintar .

Manhaj fi kitab al- Kasysyaf
    Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.
Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:
"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".
Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.
Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir Al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu:
1.    Az-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah;
2.    Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi;
3.    Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;
4.    Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;
5.    Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,
6.    Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,
7.    Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan
8.    Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.
Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada pandangan-pandangan Mu'tazilah.
Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan asumsi itu. Namun demikian, ia juga mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir Al-Kasysyaf, antara lain: Pertama, terhindar dari cerita-cerita israiliyyat; Kedua, terhindar dari uraian yang panjang; Ketiga, dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan; Keempat, memberikan penekanan pada aspek-aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan Kelima, dalam melakukan penafsiran ia menempuh metode dialog.
Paham kemu’tazilahan Zamakhsyari dalam tafsirnya membuktikan kecerdasan, kecemerlangan dan kemahirannya. Ia mampu mengungkapkan isyarat-isyarat yang jauh agar terkandung di dalam makna ayat guna membela kaum Mu’tazilah dan menyanggah lawan-lawannya. Tetapi dari aspek kebahasaan ia berjasa telah menyingkap keindahan al-qur’an dan daya tarik balaghahnya. Hal ini karena dia memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang ilmu balaghah, Bayan, nahwu dan sharaf.
Dia pernah menyatakan bahwa orang yang menaruh perhatian terhadap tafsir tidak akan dapat menyelami hakikatnya sendiri kecuali jika dia telah menguasai dua ilmu khusus bagi al-qur’an yaitu, ilmu ma’ani dan ilmu bayan. Zamakhsyari telah cukup lama menyelami keduanya, bersusah payah dalam menggalinya, menderita karenannya serta di dorong oleh cita-cita luhur untuk memakahi kelembutan-kelembutan hujjah Allah dan oleh hasrat ingin mengetahui mukjizat Rasulullah.
Ibnu Khaldun memberikan analisa dan penilaian terhadap Al-Khasysyaf karya Zamakhsyari tersebut di saat membicarakan tentang rujukan tafsir mengenai pengetahuan tentang bahasa, I’rab, dan balaghah. Dia mengatakan:
Di antara kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut ialah kitab Al-Khasysyaf karya Zamakhsyari, seorang penduduk khawarizm di Irak.hanya saja pengarangnya termasuk pengikut fanatic mu’tazilah. Karena itulah ia senantiasa mendatangkan argementasi-argumentasi untuk membela mazhabnya yang rusak setiap ia menerangkan ayat-ayat Alqur’an dari segi balaghah. Cara demikian bagi para penyelidik dari kaum ahli sunnah di pandang sebagai penyimpangan dan, bagi jumhur, merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan al-Quran. Namun demikian mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya dalam hal berkaitan dengan bahasa dan balaghah. Tetapi jika orang membacanya tetap berpijak pada mazhab sunni dan menguasai hujah-hujahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya. Oleh karena itu, kitab tersebut perlu di baca mengingat keindahan dan keunikan seni bahasanya.











Daftar Pustaka
al-Qattān, Mannā’ Khalīl, Mabāhis fī Ulūmil Qur’ān, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul  Studi ilmu-ilmu Qur’an,Bogor, Pustaka Litera AntarNusa: 2009
Mahmud ,Mani’ Abd Halim, Manhaj al-Mufassirin, diterjemahkan oleh Syahdianor dan Faisal Saleh dengan judul Metodologi Tafsir, Jakarta, RajaGrafindo:2006
Internet

Blogroll