Kebaikan yang tidak terorganisir akan kalah dengan kejahatan yang terorganisir!!!
Minggu, 29 April 2012
Dosen vs Mahasiswa
Teriris luka yg begitu dalam membuat naluri tidak dapat lagi membedakan yang mana yang benar dan yang mana yang salah. Dosen bagaikan manusia bertangan Malaikat, setiap mahasiswa tunduk padanya sebab kelulusan mahasiswa ditangan sang malaikat itu. walaupun begitu pantaskah seorang Dosen mengeksekusi mahasiswa atau mencap seorang mahasiswa itu, ini dan dia tidak pantas ditemani disebabkan tiada manfaatnya menemani mahasiswa tersebut. emmm...!!! mentang-mentang seorang Dosen seenaknya saja mengeksekusi mahasiswa. padahal Dosen belum tentu mengetahui kemampuan Mahasiswa tersebut.
Sabtu, 21 April 2012
POTRET ALIRAN MU’TAZILAH DI KANVAS PERADABAN
Kamis, 19 April 2012
Jalaluddin As-suyuthi
A. Biografi Imam al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi
Nama lengkap beliau adalah:
ابو الفضل جلال الدين عبد الرحمن بن الكمال أبي بكر بن محمد بن سا بق الدين بن الفخر بن عثمان بن ناظرالدين محمد بن سيفالدين حضر بن نجم الدين أبي صلاح أيوب بن ناصرالدين محمد بن الشيخ همام الدين الهمام الخضيري اللأسيوطي.
Adapun kuniyahnya Imam As-Suyuthi adalah Abu al-Fadhl sedangkan gelarnya adalah Jalaluddin As-Suyuthi. Beliau dilahirkan setelah magrib pada malam ahad di awal bulan Rajab tepatnya pada tahun 849/۸۶۹ hijriah, di Kairo, Mesir. Imam As-Suyuthi pernah melakukan perjalanan kebeberapa negeri seperti Syam, Hijaz, Yaman, Hindi, Magrib, dan Takrur hanya untuk menimba ilmu. Ayah Imam As-Suyuthi meninggal dunia ketika umur beliau menginjak lima tahun tujuh bulan. Ayanya menyandarkan wasiatnya kepada para jama’ah, diantara mereka adalah Kamal bin al-Hamam, Imam Suyuthi telah mengkhatamkan Al-Qur’an ketika umurnya baru delapan tahun, dan ia banyak menghafal dari matan-matan hadis, dan ia mengambil dari banyak guru, jumlah mereka itu menurut muridnya al-Dawudi mencapai 51 orang, dan karya-karya As-Suyuthi mencapai 500 karangan (kitab)._imam Suyuthi mempunyai keistimewaan dalam kecepatannya mengarang sehingga muridnya al-Dawudi menceritakan: ‘aku melihat Syaikh (Imam As-Suyuthi) sungguh menulis dalam satu hari sebanyak tiga bab karangan’.
Adapun mengenai nisbah beliau kepada الخضيري beliau berkomentar bahwa tidak ada yang lebih mengetahuinya kecuali al-khudairiyah (الخضيرية), yaitu tempat kering di Baghdad, dan zohirnya nisbah pada tempat kering tersebut. Imam as-Suyuthi pada umur delapan tahun sudah hapal Alquran, kemudian beliau menghapal kitab al-umdah, Manhaj, Fikih, Ushul, dan Alfiyah bin Malik. Beliau mulai berkecimpung dalam kesibukan dengan ilmu dari tahun 864 H, yaitu ketika umur beliau lima belas tahun. Beliau belajar Fikih dan Nahwu serta belajar ilmu Faraidh dari Syeikh Syihabuddin al-Syarimasahi dan beliau belajar bersama Syaikhul Islam Ilmuddin al-Bulqini dalam bidang Fikih sampai beliau meninggal dunia. Beliau membacakan kepada anaknya al-Bulkini dari awal al-Tadrib sampai al-Wakalah, Imam Sayuthi pun telah mendengarkan kepadanya dari awal al-Hâwi al-Shagîr sampai berkali-kali, beliau juga mendengar dari Bulkini isi kitab al-Manhâj dari awal sampai bab zakat, dan sebagian dari kitab al-Raudhah dari bab Qadha, serta sebagian syarah al-Manhâj Imam Zarkasyi.- beliau belajar bersama Syaikhul Islam Syarafuddin al-Manawi lalu beliau membacakan kepadanya sebagian dari isi kitab al-Manhâj, beliau juga belajar syarah al-Bahjah dan Hasyiah Tafsir al-Hanafi,di samping itu beliau juga belajar hadis dan Bahasa Arab kepada Taqiyuddin al-Hanafi. Beliau menekuninya dalam waktu empat tahun, dan beliau sempat belajar bersama al-allamah Ustadz Mahyuddin al-Kafiji selama 14 tahun, beliau belajar darinya berbagai macam ilmu, mulai dari Tafsir, Ushul, Bahasa Arab, Ma’ani, dll.
Imam as-Suyuthi adalah orang yang paling alim pada zamannya dibidang ilmu hadis dan berbagai cabangnya, rijalul hadis, gharib, matan hadis, sanad, serta istimbat kepada hukum-hukumnya. Beliau telah mengkhabarkan bahwa dirinya telah menghapal dua ratus ribu hadis. Beliau berkata: Seandainya aku mendapati lebih banyak hadis niscaya akan lebih banyak yang bisa aku hapal. Manakala umur beliau mencapai 40 tahun, beliau mengosongkan segala aktivitasnya, hanya untuk beribadah, dan beliau berpaling dari dunia dan masyarakatnya, beliau juga meninggalkan untuk berfatwa dan tidak juga menjalani ativitas mengajar, beliau mengemukakan semua itu dalam karyanya yang berjudul al-Tanfis. Imam as-suyuthi bermukim di Raudhah al-Miqyas dan tidak berpindah sampai beliau meninggal dunia. Beliau mempunyai sifat-sifat yang baik dan karamah yang banyak, beliau juga banyak sekali mempunyai pengetahuan syair, beliau menguasai secara mendalam faedah-faedah keilmuan, dan hukum-hukum syara’.
Adapun Suyuth adalah nama negeri kelahiran ayahnya. Beliau belajar dan menimba berbagai macam ilmu pengetahuan dari para tokoh ulama pada masa itu, sehingga beliau banyak menguasainya dan menjadi yang paling menonjol di antara teman-temannya, sehingga namanya pun kemudian menjadi terkenal di kalangan kaum muslimin._ Beliau pernah menjabat menjadi mufti selama beberapa tahun dan mengajar di madrasah Al-Syaikhuniyah, kemudian di madrasah Al-Bibersiyah. Pada usia tuanya beliau banyak beristirahat dan ber’uzlah di rumahnya, yaitu di Raudhah, beliau menekuni ibadah dan penulisan.
Banyak sekali ulama yang membuat biografi Imam as-Suyuthi, di antara mereka adalah muridnya Al-Hafidz al-Dawudi membuat biografi tersendiri dari kitab gurunya Al-Hafidz as-Suyuthi, As-Suyuthi sendiri juga membuat biografi tentang dirinya dalam banyak kitab, dan salah satu kitab itu menyebutkan sesuatu yang tidak dijelaskan dalam kitab lainnya. Banyak juga yang membuat biografi beliau dari kalangan pendukung bahkan penentang beliau, demikian juga orang yang bersikap moderat di antara keduannya. Di antara ulama dahulu yang membuat biografi beliau adalah Imam Ibnu Iyas dalam kitab sejarahnya. Juga pemilik kitab al-Kawâkib al-Sirâh, dan Abdul Ghani al-Nablisy.
Salah seorang dari ulama modern yang membuat biografi Imam Sayuthi adalah Imam al-Muhaqqiq Sayid Abdul Hay al-Kanani. Imam Sayuthi merupakan puncak dari tokoh-tokoh yang berpengaruh sehingga banyak yang mengomentarinya baik orang yang mencela maupun orang yang memujinya. Beliau adalah orang yang produktif dalam karyanya, beliau juga memiliki daya ingat yang kuat dan semangat tinggi sejak kecilnya. Beliau belajar dan nyantri kepada guru-gurunya yang jumlahnya mencapai 600 orang.
Keagungan dan kemuliaan yang didapat as-Suyuthi, serta lautan ilmu-ilmu yang begitu luas, tak lepas dari do’a orang-orang shalih dan guru-guru beliau yang senantiasa menjadi pembimbingnya, hal ini beliau ungkapkan sendiri, katanya: “semasa ayahku masih hidup, aku dibawa kepada Syaikh Muhammad al-Majdzub, yaitu seorang wali yang terkenal di dekat al-Masyhad al-Nufaisi, lalu beliau memberkatiku.- Manakala aku berhaji, dan minum air zam-zam karena beberapa perkara di antaranya: 1). Supaya di dalam fikih aku disampaikan kepada derajat guruku Sirajuddin al-Bulqini, 2). Dan di bidang hadis mencapai derajat al-Hafidz Ibnu Hajar.
Di samping ilmunya yang banyak, ia adalah seorang yang mulia, dermawan, shalih, tidak pernah berambisi pada kekuasaan dan tidak pernah minta bantuan kepada pemerintah atau raja-raja. Diriwayatkan bahwa Sultan al-Ghuri pernah mengirim kepadanya seorang budak bersama uang seribu dinar. Tetapi ia menolak uang seribu dinar tersebut dan menerima budak untuk dimerdekakannya dan dijadikan sebagai pelayan mesjid Nabawi, ia sering dikunjungi oleh para penguasa, Amir dan menteri dengan membawa berbagai pemberian dan hadiah, namun ia selalu menolaknya.
Dia juga berkata kepada para pejabat, “jangan datang kepadaku selalu membawa hadiah, karena Allah telah mencukupiku dari hal seperti itu. Dia tdak mondar-mandir kepada raja, juga tidak kepada lainnya. Raja selalu mengundangnya dan dikatakan kepadanya: Bahwa sebagian wali Allah mondar-mandir menemui raja-raja dan pejabat dalam kebutuhan manusia. Dia menjawab: mengikuti ulama salaf serta tidak mondar-mandir kepada raja dan pejabat adalah lebih selamat bagi agama orang Islam.
Imam as-Suyuthi berkata: “Aku dianugerahi oleh Allah lautan dalam tujuh ilmu, yaitu: Tasir, Hadis, Fikih, Nahwu, Ma’ani, Bayan dan Badi’i. dengan banyaknya ilmu yang dikuasai, Imam as-Suyuthi telah sampai pada derajat yang tinggi, beliau menghimpun dengan tangannya sendiri berbagai macam kitab dan karangan, maka jadilah beliau seorang yang mempunyai pengetahuan dan pandangan yang luas, sampai-sampai beliau diberi gelar “Ibn kutub”(إبن الكتب).
Imam as-Suyuthi tidak akan pernah menjadi apa-apa tanpa peran seorang guru, berikut adalah di antara guru-guru beliau yang masyhur: Syaikh Ilmuddin al-Bulkini, kepadanya lah beliau belajar Fiqih asy-Syafi’I, Syaikh Syarafuddin al-Manawi guru beliau dalam bidang ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab, Syaikh Mahyuddin al-Kafiji (W. 879 H), Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Musa al-Sairami, kepadanya beliau membaca Shahih Muslim dan al-Syifa serta yang lainnya, dan Taqiyuddin al-Hanafi guru Imam as-Suyuthi dibidang hadis dan Bahasa Arab.
Adapun murid-murid Imam as-Suyuthi yang menjadi pelengkap bagi kemasyhuran beliau di antara mereka yang terkenal adalah:
1. Muhammad bin Ali al-Dawudi (W. 945 H)
2. Zainuddin Abu Hafash Umar bin Ahmad al-Syima’i (W. 936 H)
3. Muhammad bin Ahmad bin Iyas (W. 930 H)
4. Muhammad bin Yusuf al-Syami al-Shalihi al-Mishri (W. 942 H)
5. Ibnu Thulun Muhammad bin Ali bin Ahmad (W. 953 H)
6. Al-Syarani, Abdul Wahab bin Ahmad (W. 973 H), beliau wafat di Kairo.
Imam as-Suyuthi diklasipikasikan sebagai salah seorang aulia Allah oleh Al-Nabhai dalam kitabnya Jami’ Karamat al-Auliya, salah satu cerita yang menarik adalah Imam as-Suyuthi pernah melihat Nabi saw. di dalam mimpi, dan beliau bertanya kepada nabi tentang sebagian hadis, dan Nabi saw. berkata kepadanya “bawalah kemari yaa syaikhussunnah”. Dia melihat dirinya ini di dalam mimpi dan Nabi berkata kepadanya: “Bawalah kemari yaa syaikhul hadis”. Muridnya al-Syaikh Abd al-Qadir al-Syadzili di dalam kitab terjemahnya menyebutkan bahwa gurunya as-Suyuthi berkata: “Aku melihat Nabi saw di waktu jaga, lalu nabi berkata kepadaku “yaa syaikh al-hadis”, lalu aku bertanya kepada beliau: “yaa Rasulallah, apakah akuini termasuk golongan ahli surga?” Nabi menjawab: yaa._ Dan Syaikh Abd al-Qadir bertanya kepada gurunya: “yaa tuanku, berapa kalikah engkau melihat Nabi saw. dalam keadaan jaga? Beliau menjawab: lebih dari tujuh puluh kali.
Di akhir hayatnya as-Suyuthi ditimpa sakit keras, dan di tangan kirinya terdapat bengkak, akhirnya Imam al-Hafidz al-Jalil as-Suyuthi harus mengakhiri serangkaian warna kehidupannya pada waktu menjelang subuh, malam Jum’at 29 Jumadil Awal pada tahun 911 H. sang imam besar abad ke 10 berpulang ke rahmatullah, di rumahnya di Raudhah al-Miqyas.
B. Karya-karya al-Hafizd as-Suyuthi
Kitab-kitab karya beliau mencapai 500 kitab , menurut Brokelmen seorang orientalis Jerman menghitungnya sekitar 415 buah karya tulis as-Suyuthi, ada yang sudah diterbitkan dan ada pula yang masih dalam bentuk manuskrip. Ibnu Ilyas berkata: karya tulis beliau mencapai 600 buah membahas berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam, Arab, dan Sejarah.
Sebagian dari kitab as-Suyuthi adalah karangan asli, sebagian dari rangkuman kitab-kitab lain sebelumnya, sebagian lagi adalah kumpulan tulisan dan susunan. Karakteristik tulisannya terdapat di semua kitabnya, dia memperhatikan karakteristik penulisan yang mudah, maka karya-karyanya tidak ditemukan komentar, baik yang karangan, himpunan atau susunannya.
Ibnu Imad berkata sebagaimana yang dikutip Mani Abd Halim Mahmud dalam beberapa catatan, bahwa muridnya al-Hafidz as-Suyuthi memiliki nama-nama kitab karyanya yang besar, yang utuh dan terhimpun, maka jumlahnya menghabiskan angka 500 karya. Karya-karyanya popular di seantero bumi baik timur dan barat, dan itu adalah mukjizat besar dalam kecepatannya menyusun kitab.
Abul Hasanat, Muhammad Abdul Hay al-Kanwi dalam kitabnya Hasyiyah Muwaththa (seperti yang telah dikutip Halim Mahmud) setelah menuturkan biografi Imam Suyuthi mengatakan: “Karya-karyanya semua membuat faidah-faidah yang luas, hikmah yang mulia, semuanya digambarkan oleh kedalaman ilmunya, keluasan pandangan dan kejelian pemikirannya. Dan terbukti ia adalah termasuk dari pembaharu agama Islam di awal abad ke-10 dan akhir abad ke-9 H. Sebagaimana ia mengakuinya sendiri, dan kebenarannya disaksikan ulama yang datang sesudahnya seperti Ali Alqari almakki dalam kitab al-Mirat Syarh al-Misykat.
Sayyid Muhammad Abdul Hay al-Kanani mengatakan: di Mesir penuh dengan kumpulan-kumpulan karya as-Suyuthi, di tahun 904 sebelum 7 tahun dari wafatnya tercatat karyanya berjumlah 538, jumlah karyanya dibidang tafsir sebanyak 73, dalam hadis 205, dibidang mushthalah al-hadis 32, fiqih 71, ushul fikih dan tasawwuf sebanyak 20, lughah, nahwu dan tashrif 66, al-ma’ani, bayan dan badi’ 6, kitab yang dihimpun dari berbagai disiplin ilmu 80, al-Tabaqat wa Tarikh 30, dan jami’ 37.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa buah karya Imam as-Suyuthi sangatlah banyak, mencapai 500 buah menurut al-Dawudi, dan 600 buah menurut Ibnu Ilyas. Di antara karya-karya Imam as-Suyuthi yang dapat ditemukan antara lain :
1. Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur
2. Al-Ashbah wa al-Nazhair
3. Hamm al-Awami’, Syarah Jum’ul Jawami’
4. Al-Jami’ al-Kabir fi al-Hadis
5. Ainul Isbah fi Ma’rifah al-Shah-abah
6. Duur al-Shuhbah fi Man ‘Asya min al-Shahabah, Miatan wa ‘Isyrin
7. Rih al-Nasrin fi Man ‘Asya min al-Shahabah, Miatan wa ‘Isyrin
8. Is’af al-Mabda bi Rijal al-Muwaththa
9. Kasyf al-Talbis ‘an Qalbi Ahl al-Tadli
10. Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi
11. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an
12. Tarikh al-Khulafa’
Masih banyak lagi karya-karya beliau yang tidak tertuliskan di sini.
C. Tafsir Imam as-Suyuthi Al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur
Imam as-Suyuthi mempunyai banyak karya di bidang tafsir di antara karyanya yang paling terkenal adalah kitab Kitab al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur, biasanya terkenal dengan sebutan Durr al-Mantsur saja.
Seperti namanya kitab ini merupakan kitab yang menghimpun tafsir bi al-ma’tsur, tidak terdapat di dalamnya pendapat-pendapat pribadi imam Suyuthi yang memberi syarah, tetapi ia konsisten agar tafsirnya merupakan kumpulan dari hadis-hadis Rasulullah saw. dalam ayat Alquran, dan dalam serangkaian riwayat dari para sahabat.
Sebelum menyusun kitab Durr al-Mantsur, Imam as-Suyuthi terlebih dahulu menghimpun suatu kitab tafsir yang bersambung kepada Rasulullah, di dalamnya terdapat sepuluh ribu hadis, baik hadis marfu’ maupun hadis mauquf, dan selesai dalam empat jilid, kitab tersebut beliau namai Tarjuman al-Qur’an.
Kemudian kitab Tarjuman al-Qur’an yang diselesaikan dengan memuat sanad-sanad riwayat yang ma’tsur tersebut diringkas oleh Imam Suyuthi dengan menghilangkan sanad-sanadnya, dan mencukupinya dengan redaksi hadis-hadis yang marfu’ dan mauquf. Hasil dari ringkasan kitab tersebut ada di dalam kitab Durr al-Mantsur.
Imam Sayuthi berkata dalam muqaddimah Durr al-Mantsur tafsirnya:
Wa ba’du, manakala setelah aku menyusun kitab Tarjuman al-Qur’an. Dia merupakan tafsir yang bersambung dari Rasulullah dan para sahabatnya, dan Alhamdulillah selesai dengan sempurna dalam beberapa jilid, maka apa yang aku datangkan di dalamnya dari atsar dengan sanad-sanad kitab yang ditakhrij darinya. Aku berpendapat bahwa keterbatasan hasrat dari mencapainya, dan kegemaran mereka dalam meringkas matan-matan hadis tanpa isnad dan tidak panjang lebar, maka aku merangkum darinya dengan ringkasan pada matan atsar, yang bersumber pada riwayat dan takhrij kepada kitab yang mu’tabar.Aku namai kitab tersebut al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur.
As-Suyuthi mengarang kitab tafsirnya kurang lebih tiga belas tahun sebelum wafatnya._ selesai pada hari raya ‘idul fitri tahun 898. Di dalam kitab Durr al-Mantsur semuanya memuat riwayat-riwayat yang ma’tsur dalam tafsir bi al-Ma’tsur, as-Suyuthi mengambil riwayat-riwayat tersebut dari berbagai kitab-kitab hadis, mulai dari shahih, sunan dan musnad, dan juga dari mushannaf-mushannaf yang menghimpun pendapat-pendapat para sahabat dan tabi’in. seperti Mushannaf Abdurrazzaq, Ibnu Abdi Syaibah, dan kitab-kitab tafsir bi al-Ma’tsur yang bersambung, seperti tafsir Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir, Ibnu Mardawaih, Abd bin Hamid dan lain-lain.
D. Metode as-Suyuthi dalam Tafsirnya
Senada dengan namanya, karya tafsir as-Suyuthi tergolong bi al-Ma’tsur karena secara keseluruhan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran tafsir ini menggunakan penjelasan nabi maupun sahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadis dan tafsir. Sistematika tafsir ini mengikuti tartib mushhaf.Pada awal pemahasan dicantumkan ayat-ayat yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan asbabun nuzul dan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan penjelasan nabi atau sahabat berkenaan dengan ayat-ayat secara sistematis.
Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode tahlili dengan bentuk bi al-ma’tsur.Dalam menyusun tafsirnya, Imam Suyuthi mempunyai metode yang terbilang berbeda dari lazimnya mufassir bi al-Ma’tsur lainnya. Bila disimpulkan, metode Imam as-Suyuthi dalam kitab Durr al-Mantsur maka sebagai berikut:
1. Beliau di dalam tafsirnya memuat riwayat-riwayat dari para ulama salaf tanpa menerangkan kedudukan riwayat tersebut, apakah shahih atau dha’if, dengan kata lain riwayat tersebut masih tercampur baur akan kualitasnya. Beliau juga tidak menjelaskan atau mengkritik riwayat-riwayat tersebut, yang menurut pengakuan beliau riwayat-riwayat tersebut bersumber dari kitab-kitab yang ditakhrij. Di antara kitab-kitab tersebut adalah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan an-Nasa’I, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ahmad bin Hambal, serta kitab-kitab yang lainnya seperti yang ditulis Ibnu Jarir al-Thabari, Ibn Abi Hatim, Abdullah bin Hamid, Ibn Abi Dunya, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibn Mundzir, Ibn Mardawaih dan lain-lain.
2. Dalam riwayat-riwayat atau atsar dan hadis-hadis yang menjadi penafsiran bagi ayat, Imam as-Suyuthi meringkas sebagian jalur periwayatnya (sanad). Seperti dalam riwayat berikut ini:
اخرج ابو يعلى و ابن ابي حاتم عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم, ما من عبد يموت لا يشرك با لله شئا الا حلت له المغفرة....
3. Pada penafsirannya as-Suyuthi konsisten memberi penjelasan terhadap ayat yang dibahas dengan riwayat-riwayat hadis maupun atsar. Beliau tidak menafsirkan ayat dengan pemikiran pribadinya atau pendapat-pendapat yang menguatkan periwayatan tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir. Itulah yang kami maksud dengan berbeda dari mufassir bi al-Ma’tsur lainnya. Imam as-Suyuthi sama sekali tidak memberikan komentar baik dari sisi bahasa, unsur I’jaz, dan balaghah, maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum, serta tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir pada zamannya. Belian hanya mencantumkan riwayat-riwayat yang diawali dengan kata akhraja dilanjutkan dengan redaksi yang terkait dengan penjelasan ayat.
Daftar pustaka
al-Suyûthî , Jalâl al-Dîn, Al-Dûrr al-Mantsûr fî Tafsîr bî al-Ma’tsûr, Bairut: Dâr al Fikr, 1993, jilid 1.
----------, Al-Itqân fî Ulûm Al-Qur’an, Bairut: Muassasat al-Kutûb al-Tsaqâfiyah, 1997,jilid 1.
----------,Mukhtashar al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq dengan judul, “Apa itu Al Qur’an / Imam as-Suyuthi, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
---------Al-Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Bairut: Maktabah al-Kautsar, 1418 H.
---------Miftah Jannah fi Ihtijaj bi al-Sunnah, penerj. Saifullah dengan judul “Kontra atas Penyimpangan Sumber Hukum Orisinil, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
al-Khalidi, Sholah, Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin, Damsyiq: Dar al-Qalam, 2008.
al-Nabhani, Yusuf bin Ismail, Jami’ Karamat al-Auliya’, Bairut: Maktabah al-kautsar, 1418 H, Juz 1.
al-Dzahabî ,Muhammad Husain, Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Kairo: tanpa ket. Tempat, 1976, jilid 1.
Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
‘Ubaidu, Hasan Yunus, Dirasat wa Mabahits fi Tarikh al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, Kairo: Jamiah al-Azhar, 1991.
Jumat, 13 April 2012
metodologi az-Zamakhsyari dalam kitab al-kasyaf
Sosok Imam Zamakhsyari
Dia adalah Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Di lahirkan pada 27 Rajab 467 H. Di Zamakhsyar, sebuah perkampungan besar di kawasan khawarizmi (Turkistan). Dia mulai belajar di negeri sendiri, kemudian di Bukhara, dan belajar sastra kepada Syeih Mansyur Abi Mudhar. Kemudian pergi ke Mekkah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jarullah (Tetangga Allah). Dan selama tinggal di kota Mekkah itulah dia menulis Al-Kasysyâf ‘An Haqâ’iqi Gawâmidit Tanzil Wa ‘Uyûnil Aqâwil Fi Wujûhit Ta’wil. Dia wafat pada 538 H, di Jurjaniah Khawarizm setelah kembali dari Mekkah . Beliau juga pernah ke Baghdad, Khurasan dan Quds (Palestina). Imam Zamakhsyari pernah tinggal beberapa lama di Quds, bahkan dikatakan beliau mengarang kitab al-kasyaf di sana. Beliau menghabiskan waktu dalam mengarang kitab al-kasyaf lamanya seperti lama masa khalifah Abu Bakar, atau dengan kata lain selama dua tahun beberapa bulan .
Dalam hal ini, imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” (IV:78) berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasysyaaf karyanya.”
Keilmuan dan Karyanya
Zamakhsyari adalah salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’anai dan bayan. Dia juga merupakan ulama yang genius dan sangat ahli dalam bidang ilmu nahwu, bahasa, sastra dan tafsir. Pendapat-pendapatnya tentang ilmu bahasa arab diakui dan dipedomani oleh para ahli bahasa karena keorisinilan dan kecermatannya.
Bagi orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balaghah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang di kutip dari Zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya mereka mengatakan “Zamakhsyari telah berkata dalam kitab al-kasysyaf atau dalam asasul balaghah...” Ia adalah orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa arab, bukan tipe orang yang suka mengikuti langkah orang lain yang hanya menghimpun atau mengutip saja, tetapi dia mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya di tiru dan diikuti oleh banyak orang. Dia menpunyai banyak karya dalam bidang hadits, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain sebagainya. Diantara karangannya adalah :
• Al-Khasysyâf, tentang Tafsir Al-Qur’an
• Al-Fâ’iq, tentang Tafsir Hadits
• Al-Minhâj, tentang Ushul
• Al-Mufassal, tentang Nahwu
• Asâsul Balâghah, tentang Bahasa
• Rû’usul Masâ‘ilil Fiqhiyah, tentang Fiqh
Kitab al-khasysyaf karya az-Zamakhsyari adalah sebuah kitab tafsir paling masyhur diantara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bir-ra’-yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-alusi, Abus Su’ud, an-Nasafi dan para mufassir lain banyak mengutib dari kitab tersebut, tetapi tanpa menyebut sumbernya .
Kitab Al-Kasyaf Lil Zamakhsyari
Pada kebiasaannya orang-orang menyebutnya dengan kitab Al-Kasyaf Lil Zamakhsyari. Ini adalah kitab yang sangat berpengaruh. Pengarangnya memberikan dua sifat dan dia sebutkan kedua sifat itu tanpa ragu. Sifat pertama adalah tafsir yang beraliran mazhab mu’tazilah. Bahkan, pengarangnya sendiri sampai mengatakan: “apabila kamu iangin minta izin dengan pengarang al-kasyaf ini maka sebutlah namanya dengan Abul Qosim Al-mu’tazili” .
Dari kalimat pertama dalam tafsir ini sudah menunjukkan adanya indikasi tentang mu’tazilah. Dari pertama sampai akhir. Imam Zamakhsyari selalu berpegang dengan mazhab mu’tazilah dalam penfsirannya. Padahal Alquran bukanlah sebuah kitab mazhab. Apabila Alquran ditafsirkan dengan landasan sebuah aliran maka nilai kemurniannya sudah hilang. Maka dari itulah al-kasyaf mendapat banyak kritikan dari para ulama Ahlusunnah .
Sifat kedua yang dimiliki tafsir ini adalah keutamaan dalam nilai bahasa arab, baik dari segi I’zaj Alquran, Balaghah, dan Fashahah, sebagai bukti jelasnya Alquran diturunkan dari sisi Allah SWT. Bukan buatan manusia dan mereka tidak akan mampu meniru seumpamanya sekalipun mereka saling tolong-menolong dalam melakukannya. Dalam hal ini, Imam Zamakhsyari sangat mempersiapkannya dengan matang sebelum beliau mengarangnya.
Ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam kitab al-Kasyaf, antara lain:
Dalam setiap tafsir ayat Alquran tidak ada pengaruh batin yang didapatkan oleh pengarang. Dalil-dalil ayat tersebut tidak bisa memalingkannya pada kebenaran, bahkan Zamakhsyari memalingkan makna tidak sesuai dengan zahirnya. Ini merupakan mengada-ada kalam Allah SWT. Lebih baik seandainya sedikit saja, tetapi pada kenyataannya dia membahasnya secara panjang lebar agar tidak dikatan lemah dan kurang. Dalam hal ini, dapat kita lihat bahwa penafsiran dalam kitab itu bercampur dengan pengaruh aliran mu’tazilah. Ini adalah pengaru cacat yang sangat besar.
Kritik lain terdapat pada pencelaan Imam Zamakhsyari terhadap para wali Allah SWT. hal ini karena ia lupa tehadap jeleknya perbuatan ini dan karena tidak mengakui adanya hamba Allah SWT seperti itu. Alangkah indah ungkapan Imam al-Razi dalam kritikannya pada imam Zamakhsyari tehadap yang demikian. Al-Razi berkata dalam tafsir ayat “allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya (QS Al-maidah [5]:54) “dalam hal ini, pengarang al-kasyaf telah menceburkan dirinya dalam kesalahan dan bahaya karena telah mencela kekasih Allah SWT dan telah menulis sesuatu yang tidak layak dan sesuatu kejelekan terhadap mereka yang dicintai Allah SWT. dia sngat berani melakukan hal ini, padahal tulisan ini dia lakukan ketika menafsirkan ayat-ayat Allah SWT yang Majid”.
Kritikan lain terhadap kitab ini terdapat banyaknya penyebutan syair dan amtsal. Padahal kedua hal tersebut adalah sebuah nilai canda dan humor yang tidk pantas dengan syariat dan akal, apalagi pada mereka penegak keadilan dan penegak tauhid .
Kritikan lainnya adalah penyebutan Ahlusunnah dangan kata-kata kotor. Terkadang disebut dengan golongan ¬mujabbaroh (pemaksa), bahkan terkadang dikatakan dengan kaum kafir dan kaum yang menyimpang. Pahahal ucapan seperti ini hanya pantas keluar dari golongan mereka yang bodoh, bukan dari ulama yang pintar .
Manhaj fi kitab al- Kasysyaf
Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.
Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:
"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".
Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.
Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir Al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu:
1. Az-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah;
2. Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi;
3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;
4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;
5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,
6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,
7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan
8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.
Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada pandangan-pandangan Mu'tazilah.
Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan asumsi itu. Namun demikian, ia juga mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir Al-Kasysyaf, antara lain: Pertama, terhindar dari cerita-cerita israiliyyat; Kedua, terhindar dari uraian yang panjang; Ketiga, dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan; Keempat, memberikan penekanan pada aspek-aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan Kelima, dalam melakukan penafsiran ia menempuh metode dialog.
Paham kemu’tazilahan Zamakhsyari dalam tafsirnya membuktikan kecerdasan, kecemerlangan dan kemahirannya. Ia mampu mengungkapkan isyarat-isyarat yang jauh agar terkandung di dalam makna ayat guna membela kaum Mu’tazilah dan menyanggah lawan-lawannya. Tetapi dari aspek kebahasaan ia berjasa telah menyingkap keindahan al-qur’an dan daya tarik balaghahnya. Hal ini karena dia memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang ilmu balaghah, Bayan, nahwu dan sharaf.
Dia pernah menyatakan bahwa orang yang menaruh perhatian terhadap tafsir tidak akan dapat menyelami hakikatnya sendiri kecuali jika dia telah menguasai dua ilmu khusus bagi al-qur’an yaitu, ilmu ma’ani dan ilmu bayan. Zamakhsyari telah cukup lama menyelami keduanya, bersusah payah dalam menggalinya, menderita karenannya serta di dorong oleh cita-cita luhur untuk memakahi kelembutan-kelembutan hujjah Allah dan oleh hasrat ingin mengetahui mukjizat Rasulullah.
Ibnu Khaldun memberikan analisa dan penilaian terhadap Al-Khasysyaf karya Zamakhsyari tersebut di saat membicarakan tentang rujukan tafsir mengenai pengetahuan tentang bahasa, I’rab, dan balaghah. Dia mengatakan:
Di antara kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut ialah kitab Al-Khasysyaf karya Zamakhsyari, seorang penduduk khawarizm di Irak.hanya saja pengarangnya termasuk pengikut fanatic mu’tazilah. Karena itulah ia senantiasa mendatangkan argementasi-argumentasi untuk membela mazhabnya yang rusak setiap ia menerangkan ayat-ayat Alqur’an dari segi balaghah. Cara demikian bagi para penyelidik dari kaum ahli sunnah di pandang sebagai penyimpangan dan, bagi jumhur, merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan al-Quran. Namun demikian mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya dalam hal berkaitan dengan bahasa dan balaghah. Tetapi jika orang membacanya tetap berpijak pada mazhab sunni dan menguasai hujah-hujahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya. Oleh karena itu, kitab tersebut perlu di baca mengingat keindahan dan keunikan seni bahasanya.
Daftar Pustaka
al-Qattān, Mannā’ Khalīl, Mabāhis fī Ulūmil Qur’ān, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi ilmu-ilmu Qur’an,Bogor, Pustaka Litera AntarNusa: 2009
Mahmud ,Mani’ Abd Halim, Manhaj al-Mufassirin, diterjemahkan oleh Syahdianor dan Faisal Saleh dengan judul Metodologi Tafsir, Jakarta, RajaGrafindo:2006
Internet
Dia adalah Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Di lahirkan pada 27 Rajab 467 H. Di Zamakhsyar, sebuah perkampungan besar di kawasan khawarizmi (Turkistan). Dia mulai belajar di negeri sendiri, kemudian di Bukhara, dan belajar sastra kepada Syeih Mansyur Abi Mudhar. Kemudian pergi ke Mekkah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jarullah (Tetangga Allah). Dan selama tinggal di kota Mekkah itulah dia menulis Al-Kasysyâf ‘An Haqâ’iqi Gawâmidit Tanzil Wa ‘Uyûnil Aqâwil Fi Wujûhit Ta’wil. Dia wafat pada 538 H, di Jurjaniah Khawarizm setelah kembali dari Mekkah . Beliau juga pernah ke Baghdad, Khurasan dan Quds (Palestina). Imam Zamakhsyari pernah tinggal beberapa lama di Quds, bahkan dikatakan beliau mengarang kitab al-kasyaf di sana. Beliau menghabiskan waktu dalam mengarang kitab al-kasyaf lamanya seperti lama masa khalifah Abu Bakar, atau dengan kata lain selama dua tahun beberapa bulan .
Dalam hal ini, imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” (IV:78) berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasysyaaf karyanya.”
Keilmuan dan Karyanya
Zamakhsyari adalah salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’anai dan bayan. Dia juga merupakan ulama yang genius dan sangat ahli dalam bidang ilmu nahwu, bahasa, sastra dan tafsir. Pendapat-pendapatnya tentang ilmu bahasa arab diakui dan dipedomani oleh para ahli bahasa karena keorisinilan dan kecermatannya.
Bagi orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balaghah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang di kutip dari Zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya mereka mengatakan “Zamakhsyari telah berkata dalam kitab al-kasysyaf atau dalam asasul balaghah...” Ia adalah orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa arab, bukan tipe orang yang suka mengikuti langkah orang lain yang hanya menghimpun atau mengutip saja, tetapi dia mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya di tiru dan diikuti oleh banyak orang. Dia menpunyai banyak karya dalam bidang hadits, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain sebagainya. Diantara karangannya adalah :
• Al-Khasysyâf, tentang Tafsir Al-Qur’an
• Al-Fâ’iq, tentang Tafsir Hadits
• Al-Minhâj, tentang Ushul
• Al-Mufassal, tentang Nahwu
• Asâsul Balâghah, tentang Bahasa
• Rû’usul Masâ‘ilil Fiqhiyah, tentang Fiqh
Kitab al-khasysyaf karya az-Zamakhsyari adalah sebuah kitab tafsir paling masyhur diantara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bir-ra’-yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-alusi, Abus Su’ud, an-Nasafi dan para mufassir lain banyak mengutib dari kitab tersebut, tetapi tanpa menyebut sumbernya .
Kitab Al-Kasyaf Lil Zamakhsyari
Pada kebiasaannya orang-orang menyebutnya dengan kitab Al-Kasyaf Lil Zamakhsyari. Ini adalah kitab yang sangat berpengaruh. Pengarangnya memberikan dua sifat dan dia sebutkan kedua sifat itu tanpa ragu. Sifat pertama adalah tafsir yang beraliran mazhab mu’tazilah. Bahkan, pengarangnya sendiri sampai mengatakan: “apabila kamu iangin minta izin dengan pengarang al-kasyaf ini maka sebutlah namanya dengan Abul Qosim Al-mu’tazili” .
Dari kalimat pertama dalam tafsir ini sudah menunjukkan adanya indikasi tentang mu’tazilah. Dari pertama sampai akhir. Imam Zamakhsyari selalu berpegang dengan mazhab mu’tazilah dalam penfsirannya. Padahal Alquran bukanlah sebuah kitab mazhab. Apabila Alquran ditafsirkan dengan landasan sebuah aliran maka nilai kemurniannya sudah hilang. Maka dari itulah al-kasyaf mendapat banyak kritikan dari para ulama Ahlusunnah .
Sifat kedua yang dimiliki tafsir ini adalah keutamaan dalam nilai bahasa arab, baik dari segi I’zaj Alquran, Balaghah, dan Fashahah, sebagai bukti jelasnya Alquran diturunkan dari sisi Allah SWT. Bukan buatan manusia dan mereka tidak akan mampu meniru seumpamanya sekalipun mereka saling tolong-menolong dalam melakukannya. Dalam hal ini, Imam Zamakhsyari sangat mempersiapkannya dengan matang sebelum beliau mengarangnya.
Ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam kitab al-Kasyaf, antara lain:
Dalam setiap tafsir ayat Alquran tidak ada pengaruh batin yang didapatkan oleh pengarang. Dalil-dalil ayat tersebut tidak bisa memalingkannya pada kebenaran, bahkan Zamakhsyari memalingkan makna tidak sesuai dengan zahirnya. Ini merupakan mengada-ada kalam Allah SWT. Lebih baik seandainya sedikit saja, tetapi pada kenyataannya dia membahasnya secara panjang lebar agar tidak dikatan lemah dan kurang. Dalam hal ini, dapat kita lihat bahwa penafsiran dalam kitab itu bercampur dengan pengaruh aliran mu’tazilah. Ini adalah pengaru cacat yang sangat besar.
Kritik lain terdapat pada pencelaan Imam Zamakhsyari terhadap para wali Allah SWT. hal ini karena ia lupa tehadap jeleknya perbuatan ini dan karena tidak mengakui adanya hamba Allah SWT seperti itu. Alangkah indah ungkapan Imam al-Razi dalam kritikannya pada imam Zamakhsyari tehadap yang demikian. Al-Razi berkata dalam tafsir ayat “allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya (QS Al-maidah [5]:54) “dalam hal ini, pengarang al-kasyaf telah menceburkan dirinya dalam kesalahan dan bahaya karena telah mencela kekasih Allah SWT dan telah menulis sesuatu yang tidak layak dan sesuatu kejelekan terhadap mereka yang dicintai Allah SWT. dia sngat berani melakukan hal ini, padahal tulisan ini dia lakukan ketika menafsirkan ayat-ayat Allah SWT yang Majid”.
Kritikan lain terhadap kitab ini terdapat banyaknya penyebutan syair dan amtsal. Padahal kedua hal tersebut adalah sebuah nilai canda dan humor yang tidk pantas dengan syariat dan akal, apalagi pada mereka penegak keadilan dan penegak tauhid .
Kritikan lainnya adalah penyebutan Ahlusunnah dangan kata-kata kotor. Terkadang disebut dengan golongan ¬mujabbaroh (pemaksa), bahkan terkadang dikatakan dengan kaum kafir dan kaum yang menyimpang. Pahahal ucapan seperti ini hanya pantas keluar dari golongan mereka yang bodoh, bukan dari ulama yang pintar .
Manhaj fi kitab al- Kasysyaf
Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.
Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:
"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".
Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.
Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir Al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu:
1. Az-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah;
2. Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi;
3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;
4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;
5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,
6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,
7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan
8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.
Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada pandangan-pandangan Mu'tazilah.
Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan asumsi itu. Namun demikian, ia juga mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir Al-Kasysyaf, antara lain: Pertama, terhindar dari cerita-cerita israiliyyat; Kedua, terhindar dari uraian yang panjang; Ketiga, dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan; Keempat, memberikan penekanan pada aspek-aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan Kelima, dalam melakukan penafsiran ia menempuh metode dialog.
Paham kemu’tazilahan Zamakhsyari dalam tafsirnya membuktikan kecerdasan, kecemerlangan dan kemahirannya. Ia mampu mengungkapkan isyarat-isyarat yang jauh agar terkandung di dalam makna ayat guna membela kaum Mu’tazilah dan menyanggah lawan-lawannya. Tetapi dari aspek kebahasaan ia berjasa telah menyingkap keindahan al-qur’an dan daya tarik balaghahnya. Hal ini karena dia memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang ilmu balaghah, Bayan, nahwu dan sharaf.
Dia pernah menyatakan bahwa orang yang menaruh perhatian terhadap tafsir tidak akan dapat menyelami hakikatnya sendiri kecuali jika dia telah menguasai dua ilmu khusus bagi al-qur’an yaitu, ilmu ma’ani dan ilmu bayan. Zamakhsyari telah cukup lama menyelami keduanya, bersusah payah dalam menggalinya, menderita karenannya serta di dorong oleh cita-cita luhur untuk memakahi kelembutan-kelembutan hujjah Allah dan oleh hasrat ingin mengetahui mukjizat Rasulullah.
Ibnu Khaldun memberikan analisa dan penilaian terhadap Al-Khasysyaf karya Zamakhsyari tersebut di saat membicarakan tentang rujukan tafsir mengenai pengetahuan tentang bahasa, I’rab, dan balaghah. Dia mengatakan:
Di antara kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut ialah kitab Al-Khasysyaf karya Zamakhsyari, seorang penduduk khawarizm di Irak.hanya saja pengarangnya termasuk pengikut fanatic mu’tazilah. Karena itulah ia senantiasa mendatangkan argementasi-argumentasi untuk membela mazhabnya yang rusak setiap ia menerangkan ayat-ayat Alqur’an dari segi balaghah. Cara demikian bagi para penyelidik dari kaum ahli sunnah di pandang sebagai penyimpangan dan, bagi jumhur, merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan al-Quran. Namun demikian mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya dalam hal berkaitan dengan bahasa dan balaghah. Tetapi jika orang membacanya tetap berpijak pada mazhab sunni dan menguasai hujah-hujahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya. Oleh karena itu, kitab tersebut perlu di baca mengingat keindahan dan keunikan seni bahasanya.
Daftar Pustaka
al-Qattān, Mannā’ Khalīl, Mabāhis fī Ulūmil Qur’ān, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi ilmu-ilmu Qur’an,Bogor, Pustaka Litera AntarNusa: 2009
Mahmud ,Mani’ Abd Halim, Manhaj al-Mufassirin, diterjemahkan oleh Syahdianor dan Faisal Saleh dengan judul Metodologi Tafsir, Jakarta, RajaGrafindo:2006
Internet
Langganan:
Postingan (Atom)