Sabtu, 21 April 2012

POTRET ALIRAN MU’TAZILAH DI KANVAS PERADABAN


TUGAS MANDIRI MATA KULIAH ALIRAN-ALIRAN KALAM DOSEN: DRS. H. MAWARDY HATTA, M.AG OLEH: ARNADI PENDAHULUAN Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang berasal dari Allah SWT. Pada awal kedatangannya dan di tengah-tengah Nabi, islam begitu kokoh dan erat diperpegangi oleh pengikutnya yakni sahabat-sahabat Nabi dan para anggota keluarga Nabi Muhammad SAW sendiri. Mereka begitu patuh dan tunduk terhadap ajaran baru tersebut apa yang diperintahkan oleh Allah dan Nabi mereka kerjakan tanpa adanya bantahan atau keraguan sedikit juapun. Kalau pun ada keraguan atau hal-hal yang tidak mereka pahami, mereka bisa langsung menanyakannya kepada Nabi untuk memecahkan masalah yang mereka alami, baik itu masalah pribadi, sosial ataupun lebih-lebih lagi hal-hal yang terkait masalah agama. Dalam hal ini Nabi Muhammad berperan sebagai penuntun ummat sekaligus sumber pertanyaan para sahabat terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW dan seiring perkembangan zaman karekter ummat islam mulai berkembangan pula. Berawal dari kemelut tentang peristiwa siapa yang akan menjadi khalifah pasca wafat Nabi Muhammad SAW, puncaknya semenjak terpilihnya Sayyidina Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah kemudian disusul ‘Ali bin Abi Thalib mulai muncul masalah-masalah yang secara notabene memang masalah politik. Tetapi arus masalah politik tersebutlah yang menggiring ummat pada waktu itu terpecah menjadi tiga; ada golongan Syi’ah yang pro terhadap ‘Ali, Khawarij yang malah sebagai kelompok posisi dimana keberadaan mereka sebagai penentang ‘Ali dan Muawiyyah, dan para netralis yang tidak mau ikut-ikutan dalam masalak politik tersebut (Murjiah) atau Mu’tazilah. Dalam sejarah, kemelut politik tersebut ternyata membuat mereka juga memperbincangan masalah yang menyangkut teologi, seperti masalah status pelaku dosa besar, tentang kebebesan manusia, tentang sifat-sifat Tuhan dan lain sebagainya. Atas latar belakang inilah kemudian muncul apa yang kemudian disebut aliran atau golongan ataupun juga firqah-firqah teologi atau kalam dalam islam. Salah satu aliran kalam yang paling tua dan mempunyai kontribusi yang banyak dalam perkembangan islam adalah aliran Mu’tazilah. Oleh sebab itu menarik untuk dikaji seputar hal-hal yang behubungan dengan golongan Mu’tazilah ini, diatara hal-hal yang akan dipaparkan dalam makalah ini adalah seputar latar belakang lahirnya aliran Mu’tazilah, proses kelahirannya, penamaan aliran, corak pemikiran kalamnya, tokoh-tokoh beserta karyanya, dan yang terpenting adalah ajaran dasar (Ushul al-Khamsah) aliran Mu’tazilah serta perkembangannya. PEMBAHASAN A. Seputar latar belakang lahirnya, dan penamaan aliran Mu’tazilah Ada banyak versi mengenai latar belakang lahir atau munculnya aliran kalam kaum Mu’tazilah. Namun kesemuan versi tersebut cenderung mengarah kepada peristiwa perbincangan antara Hasan al-Bashri dengan salah seorang muridnya yaitu Washil bin ‘Atha, yang membicarakan tentang status para pelaku dosa besar. Namun ada juga versi yang lebih berbeda dari pada kebanyakan versi yang sudah populer, yang juga akan dibahas di sini. Adapun versi yang pertama, di mana versi ini adalah yang paling banyak diperpegangi para penulis dengan tema yang sama. Yaitu informasi yang datang dari iman Al-Syahrastani di dalam kitabnya beliau menyebutkan, bahwa “ada seseorang yang mendatangi Hasan Bashri, seraya berkata ‘hai imamuddin!Sungguh di zaman kita ini telah muncul sekelompok orang yang mengkafirkan para pelaku dosa besar.Orang yang berdosa besar itu bagi mereka telah kufur dan keluar dari jalan agama, mereka itu adalah golongan Khawarij.Sedangkan ada juga sekelompok orang yang menangguhkan (yarjiun) tentang para pelaku dosa besar tersebut.Dosa besar bagi mereka tidaklah merusak keimaman seseorang, bahkan amal perbuatan seseorang menurut mereka tidaklah termasuk rukun iman, dan maksiat pun tidak merusakiman seseorang, demikian juga ketaatan tidak dipengaruhi oleh kekufuran.Mereka itulah golongan Murjiah, lalu bagaimana menurut anda mengenai hal yang demikian itu sebagai suatu I’tiqad? Lalu Hasan Bashri berfikir sejenak mengenai hal itu, tiba-tiba salah seorang muridnya Washil bin ‘Atha menjawab pertanyaan itu, sebelum gurunya menjawab ia berkata: ‘saya tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu Mu’min yang sempurna dan tidak juga kafir yang sejati, tetapi dia berada dalam posisi di antara dua posisi yaitu tidak Mu’min dan tidak juga Kafir. Kemudian ia berdiri dan memisahkan diri ke salah satu tiang Mesjid, ia menegaskan lagi jawabanya itu kepada jama’ah sahabat Hasan Bashri, lalu Hasan Bashri berkata: ‘Washil telah memisahan diri dari kita’, semenjak itulah kata syahrastaniWashil dan sahabatnya disebut dengan Mu’tazilah. Menurut sumber lain, yaitu dari Qadhi Abd al-Jabbar ibn Ahmad sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Hadariansyah, ia menyebutkan, kaum Khawarij berpendapat bahwa orang islam yang berdosa besar adalah kafir, dan kaum Murjiah berpendapat orang seperti itu masih tetap mu’min. sedangkan Hasan Bashri berpendapat orang tersebut tidaklah Mu’min dan tidak juga Kafir, tetapi Munafik. Salah seorang muridnya yaitu ‘Amr bin ‘Ubaid sependapat dengannya.Adapun Washil bin ‘Atha berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah bukan Mu’min dan bukan pula Kafir, dan bukan munafik, tetapi Fasik. Kemudian terjadilah dialog antara Washil dengan ‘Amr bin ‘Ubaid tentang masalah ini. Ternyata akhirnya ‘Amr bin ‘Ubaid menerima pendapat Washil tersebut.Ia ketika itu lantas meninggalkan kelompok Hasan Bashri, dan mengasingkan diri.Karena itu mereka menyebutnya ‘Mu’tazili’, yakni orang yang mengasingkan diri.Dari sinilah, menurut Abd al-Jabbar mulai munculnya sebutan kaum Mu’tazilah. Pendapat lain menyatakan, bahwa kata Mu’tazilah memang berarti ‘memisahkan diri’, tetapi tidak berarti selalu memisahkan diri secara fisik. Mu’tazilah dapat juga berarti memisahkan diri dari pendapat yang berkembang sebelumya.Karena memang pendapat aliran Mu’tazilah berbeda dari pendapat sebelumnya. Menurut Al-Baghdadi, Washil dan temannya ‘Amr bin ‘Ubaid diusir oleh Hasan Bashri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Bashri dan mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjuhkan diri dari paham umat Islam tentang orang yang berdosa besar.Menurut mereka, orang seperti ini tidak Mu’min dan tidak Kafir. Demikian keterangan al-Baghdadi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan ini (dalam kitabnya al-Farq Bain al-Firaq seperti yang telah dikutip oleh Harun Nasution). Pandangan lain lagi menyebutkan mereka Mu’tazilah, yaitu yang diungkapkan oleh Abual-Husain Muhammad bin Abdurrahman al-Malathi al-Syafi’i (w. 377H) yang mengatakan “mereka menyebut dirinya Mu’tazilah karena ketika Hasan bin Ali bin Abi Thalib, berbaiat dan menyerahkan urusan (khilafah) kepada Muawiyah, mereka I’tizal (mengisolir)dari Hasan, Muawiyah, dan semua orang, padahal mereka adalah sahabat-sahabat Ali. Akhirnya, mereka tinggal di rumah-rumah dan di mesjid- mesjid seraya mengatakan “sebaiknya kita menyibukkan diri mendalami ilmu dan beribadah”, oleh sebab itu mereka disebut dengan Mu’tazilah. Berbeda lagi informasi yang diberikan oleh Abu al-Fida di dalam kitab tarikhnya Akhbar al-Fida, seperti yang dikutip Abdul Aziz Dahlan menyebutkan bahwa sejumlah pribadi yang tidak termasuk golongan Utsman bin ‘Affan tidak mau membaiat ‘Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Mereka karena menjauhkan diri dari membaiat itu disebut Mu’tazilah. Banyak yang menyebut bahwa orang-orang Mu’tazilah adalah kaum rasionalis.Memang beralasan menilai mereka demikain, tetapi sesungguhnya mereka itu pada mulanya digerakkanoleh keinginan menempuh hidup saleh. Justru ada yang berpendapat bahwa nama Mu’tazilah diberikan kepda kedenderungan mereka untuk uzlah atau nyepi untuk menopang kehidupan yang saleh. Sebenarnya istilah Mu’tazilah sudah dikenal sejak pertengahan abad pertama hijriah yaitu gelar kepada orang-orang yang memisahkan diri atau bersikap netral kepada peristiwa-peristiwa politik yang timbul setelah wafatnya Utsman bin ‘Affan. Pertama, pertentangan antara ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair di satu pihak dan ‘Ali di pihak lain.Kedua, pertentangan Ali dengan Muawiyah (perang Shiffin). Di antara orang-orang yang memisahkan diri atau netral itu adalah Sa’ad bin Abi Waqas, Abdullah bin ‘Umar, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, Suhaib bin Sinan, dan Zaid bin Tsabit. Al-Naubati di dalam kitabnya Firaq al-Syiah,menjelaskan setelah Ali diangkat sebagai Khalifah, kelompok umat islam memisahkan diri I’tizal dari Ali, meskipaum mereka menyetujui pengangkatan Ali sebagai Khalifah, mereka ini disebut golongan Mu’tazilah. B. Corak Pemikiran KalamMu’tazilah Adapun corak pemikiran kalam golongan Mu’tazilah adalah cenderung atau lebih megutamakan akal rasio atau akal di bandingkan wahyu. Oleh sebab itu golongan Mu’tazilah diberi nama dengan kaum rasional Islam karena dalam memecahkan permasalahan khusunya masalah teologi bersifat filosofis dan lebih banyak mempergunakan akal dan mengenyampingkan tradisional (nash). Orang-orang Mu’tazilah giat mempelajari filsafat yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama Filsafat Plato dan Aristoteles.Ilmu Logika sangat menarik perhatiannya karena menunjang berfikir logis.Ajaran-ajaran agama yang yang tampaknya bertentangan dengan akal fikiran, Mu’tazilah membuangnya jauh-jauh. Dari Tsabit bin Qurrah diambil teori pemujaan kekuatan akal, dengan akal fikiran semata-mata manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, dengan akal fikirannya pula ia dapat mengetahui baik dan buruk, dan dari Tsabit pula diambil cara-cara pembenaran agama dengan alasan-alasan fikiran. Dalam memahami lima prinsip dasar (Ushul al-Khamsah) ada saja hal-hal kecil yang yang mereka perselisihkan karena karena orang-orang Mu’tazilah menganalisanya di dasarkan atas fikiran-fikiran Yunani. Karena itu sebenarnya tidak terdapat kesatuan aliran yang disebut aliran Mu’tazilah, tetapi yang ada ialah bermacam-macam aliran yang timbul dan berkembang sekitar orang-orang tertentu, sebagaimana halnya dengan bemacamnya aliran Filsafat, seperti: Stoi, Epirus, Pythagoras, dan lain-lain yang kesemuannya dinamakan Filsafat Yunani. C. Ajaran Dasar (Ushul Al-Khamsah) kaum Mu’tazilah Sebagai aliran kalam yang bertumpu pada akal atau rasio, maka Mu’tazilah mempunyai doktrin yang dikenal dengan lima ajaran dasar atau dalam vesi arabnya Ushul al-Khamsah.kelima ajaran tersebut adalah al-Tauhid (kemahaesaan Tuhan), al-Adlu (keadilan), al-Wa’du wa al-wa’id (janji dan ancaman), al-Manzilah bain Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan amr bi al-Ma’ruf wa‘an nahy al-Munkar (perintah untuk berbuat baik dan larangan dari berbuat jahat). Pertama, al-Tauhid, menurut Mu’tazilah ajaran tauhid berarti meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah yang maha esa. Dia merupakan zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Golongan Mu’tazilah menganggap konsep tauhid mereka yang paling murni, sehingga mereka lebih senang disebut sebagai Ahlu al-Tauhid (pembela tauhid). Dalam pemahaman mereka tentang tauhid ini orang-orang Mu’tazilah tidak mempercayai akan adanya sifat-sifat Allah SWT. Sebab dengan menetapkan sifat Allah yang juga kadim seseoramg telah dianggap syirik.Menurut mereka bila seseorang telah menganggap zat Allah memiliki sifat, maka hal ini dianggap telah menyamakan antara zat Allah dengan sifat-sifat-Nya. Atau dengan bahasa lain yaitu ta’addud al-Qudamayakni berbilang yang kadim. Hal semacam ini menurut mereka termasuk perbuatan syirik. Abu Husain al-Khayyat al-Mu’tazili menjelaskan dalam dalam kitabnya al-Intishar, sebagai berikut: ‘jika Allah SWT mengetahui sesuatu dengan ilmu-Nya, maka ilmu-Nya itu bersifat kadim (terdahulu) atau hadits (terbaru). Tetapi tidaklah mungkin ilmunya itu bersifat kadim, karena jika ilmu Allah bersifat kadim maka akan ada dua hal yang bersifat kadim, yaitu zat Allah dan sifat ilmunya, sehinnga akan terjadi ta’addud al-Alihah (banyak Tuhan). Sedangkan yang ajaran yang kedua adalah al-Adlu, menurut kaum mu’tazilah konsep adil adalah bahwa Allah SWT merupakan tuhan yang maha bijak sana dan maha adil. Dia tidak mungkin menghendaki dari hambanya suatu perbuatan Yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri kemudian dia memberikan balasan atas perbuatan terseburt. Menurut mereka, seorang hamba adalah pelaku bagi suatu perbuatan baik atau buruk iman atau kupur dan taat atau maksiat oleh karena itu iaakan dilbalas atas perbuatannya itu. Allah hanyalah memberikan kemampuan kepadanya untuk melakukan perbuatan tersebut dengan paham semacam ini, kaum mu’tazilah sebagai pengikut paham qadariah. Ajaran yang ketiga adalah al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman), mereka berkeyakinan bahwa janji berupa balasan kebaikan dan ancaman berupa siksaan tidak mustahil diturunkan janji Allah tentang pahala atas kebaikan akan terjadi janji siksaan atas kejahatan juga akan terjadi, serta janji menerima taubat yang sungguh juga terjadi. Dengan begitu, barang siapa berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan barang siapa yang berbut kejahatan akan dibalas dengan siksaan yang pediah. Perbuatan dosa tidak diampuni tanpa bertaubat sebagai mana pahala tidak diharamkan terhadap orang yang berbuat baik. Adapun ajaran yang keempat yaitu, al-Manzilah bain al-Manzilatain jika dilihat dari segi bahasa berarti tempat diantara dua tempat atau posisi diantara dua posisi. Adapun yang dimaksud dengan istilah tersebut disini ialah setatus orang islam yang berdosa besar. Orang islam yang berdosa besar, menurut ajaran Mu’tazilah, statusnya bukan mu’min dan bukan pula kafir, sama artinya dengan berada diantara mu’min dan kafir. Ini lah yang dimaksud posisi diantara dua posisi. Ajaran tentang halini berasal dari pendapat Washil bin ‘Atha. Adapun ajaran dasar yang kelima adalah Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahi ‘an al-Munkar (perintah agar mengerjakan kebajikan dan melarang kemungkaran). Dalam prisip mu’tazilah, setiap muslim wajib menegakkan pebuatan yang ma’ruf serta menjauhi perbuatan yang munkar. Berpegang pada ajaran ini, kaum mu’tazilah dalam sejarah pernah melakukan pemaksaan ajaran kepada golongan lain yang dikenal dengan peristiwa mihnah, yaitu memaksakan pendapatnya bahwa al-Quran adalah makhluk dan ciptaan Tuhan. Karena itu Al-Qur’an tidak qadim.Mereka yang menentang pendapat ini wajib dihukum. D. Tokoh-tokoh Mu’tazilah 1. Washil bin ‘Atha al-Ghazzal (689-748 M) Ia lahir di Madinah, pemuka aliran Mu’tazilah. Ia berdiam di Basrah dan berhubungan dengan tokoh-tokoh ilmiyyah termasuk Hasan al-Bashri. Ia beroleh gelar al-Ghazzal (penenun) karena ia gemar sekali berkeliling dalam pasar tenun dan memberikan sumbangan kepada buruh-buruh melarat dalam kilang-kilang tenun. Ia lahir di Madinah al-Munawwarah pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari di nasti Umayyah dan wafat pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II. Karyanya yang masih dijumpai sampai masa kini ialah Rasail (himpunan risalat) di dalam permasalahan ilahiat dan politik. 2. ‘Amru bin ‘Ubaid (699-757) Amr bin Ubaid lahir pada masa pemerintahan Khalifah Walid 1 dari dinasti Umayyah dan wafat pada masa pemerintahan Khalifah al-Manshur dari dinasti Abbasiyah. Ia adalah sahabat karib Washil bin ‘Atha dan bersama Washil iapun ikut memisahkan diri dari halaqah gurunya Hasan al-Bashri. Ia aktip mendalami dan memperkembangkan lima tesis aliran Mu’tazilah. Washil dan ‘Amr beserta murid-muridnya disebut aliran Basrah. 3. Abu Huzail al-Allaf (753-850) Dia adalah seorang tokoh Mu’tazilah paling terkemuka pada zamannya, yakni dari aliran Basrah.Ia masih berusia lima belas tahun sewaktu Amr bin Ubaid wafat. Ia sendiri wafat dekat seratus tahun sepeninggal Washil bin Atha. Ia terlahir pada masa Khalifah al-Saffah dan hidup di bawah sekian banyak Khalifah Abbasiyah dan wafat pada masa Khalifah al-Mutawakkil. Dia juga hidup sezaman dengan al-Kindi dan Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Puncak keharuman nama Abu Huzail al-Allaf berlangsung pada masa pemerintahan al-Makmun. Dan banyak lagi tokoh-tokoh Mu’tazilah. E. Perkembangannya Sekitar dua abad lamanya ajaran-ajaran Mu’tazilah ini berpengaruh, karena diikuti dan didukung oleh penguasa waktu itu. Dikisahkan bahwa Khalifah al-Makmun dari Dinasti Abbasiyyah menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab Negara dan disinggung pula bahwa al-Kindi juga menulis beberapa risalah tentang keadilan, kemahaesaan Tuhan dan perbuatan-Nya, bahkan ia ikut pula membantah paham-paham yang bertentangan dengan mazhab Negara ini berdasarkan pemikirannya. Walaupun begitu kita tidak bias menetapkan secara pasti bahwa al-Kindi adalah seorang Mu’tazili. Karena seseorang baru bisa disebut Mu’tazili apabila ia menerima dan meyakini lima ajaran pokoknya (Ushul al-Khamsah)seperti yang telah dijelaskan diatas. Adapunmasalah-masalah yang diperdebatkan Mu’tazilah antara lain: a. Sifat-sifat Allah itu ada atau tidak b. Baik dan buruk itu ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal pikiran. c. Orang yang berdosa besar akan kekal di neraka atau tidak d. Al-Qur’an itu makhluk atau bukan, e. Perbuatan manusia itu dijadikannya sendiri atau dijadikan oleh Allah Swt f. Allah Swt. Itu bias di lihat diakhirat nanti atau tidak g. Allah itu qadim atau hadis h. Allah Swt wajib membuat yang baik (shilah) dan yang lebih baik (ashlah). Aliran Mu’tazilah yang lahir pada awal abad kedua hijriah ini, pernah menjadi mazhab resmi Negara yakni pada masa Khalifah al-Makmun dan Mu’tazilah mengalami kemunduran pada masa Khalifah al-Mutawakkil.Mu’tazilah mengalami kemunduran karena memaksakan paham al-Quran itu mahluk dan banyak menyiksa para ulama di zamannya, sehingga umat tidak simpati lagi.Tepatnya pada tahun 281 H, al-Makmun menguji para ulama tentang pendapat mereka apakah al-Qur’an itu mahluk atau bukan. Diantara Ulama yang dihadirkan pada waktu itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Bisyr bin Walid al-Kindi, Abu Hasan al-Ziyadi, Ali bin Abu Muqatil, Fadhal bin Ghanim, Ubaidullah bin ‘Amr al-Qawariri, Ali bin al-Ja’di, Sajadah, Dzayyal bin Haitsam, Qutaibah bin Sa’id, Sa’dawih al-Wasithi, Ishaq bin Abi Israil, Ibn Haras, Ibn Aliyyah al-Akbar, Muhammad bin Nuh, Al-Ajili, Yahya bin Abdurrahman al-Umari, Abu Nashr al-Tammar, Abu Ma’mar al-Qathi’i, Muhammad bin Hatim bin Maimun, serta yang lainnya. Ternyata semua yang hadir pada saat itu mengatakan bahwa al-Qur’an adalah mahluk, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal, Sajadah, Muhammad bin Nuh, dan al-Qawariri. Mereka tidak sepakat bahwa al-Qur’an itu mahluk.Akhirnya, mereka semua dibelenggu. F. Sekter-sekte aliran Mu’tazilah Seperti yang disinggung diatas Mu’tazilah memiliki banyak sekali tokoh-tokoh yang ikut dalam mengembangkan aliran ini, karena itupula diantara tokoh-tokoh tersebut tidak semuanya sama dalam hal pemikiran mereka sehingga menimbulkan sekte-sekte kecil bagi aliran Mu’tazilah. Diantara sekte-sekte Mu’tazilah adalah seperti yang ditulis oleh al-Syahrastani : 1. Al-Washiliyyah, sekte ini dihubungkan dengan tokoh utama Mu’tazilah yaitu Abi Hudzaifah Washil bin ‘Atha al-Ghazzal. 2. Al-Hudzailiyyah, nama sekte ini diambil dari pelopornya yakni Abi al-Hudzail Hamdan bin Hudzail al-‘Allaf, seorang guru besar Mu’tazilah di Bashrah. 3. Al-Nazhzhamiyyah, pendirinya adalah Ibrahim bin Siyar bin Hani al-Nazham, wafat pada tahun 231 H. 4. Al-Khabithiyyah, sekte ini dikaitkan dengan nama Ahmad bin Khabith (W. 232 H). 5. Al-Hadtsiyyah, tokohnya adalah al-Fadhl al-Hadtsy (W. 257 H). Al-Khathibiyyah dan al-Hadtsiyyah disatukan al-Syahrastani dalam satu bahasan. 6. Al-Bisyriyyah, sekte ini tidak lepas dari asuhan seorang tokoh yang bernama Bisyr bin Mu’tamar (W. 226), ia adalah termasuk diantara tokoh Mu’tazilah yang paling terkemuka. 7. Al-Mu’ammariyyah, pendirinya adalah Mu’ammar bin ‘Ibad al-Sulamy (W. 220 H). 8. Al-Mardariyyah, pendirinya adalah ‘Isa bin Shabih al-Makny (W. 226 H). 9. Al-Tsumamiyyah, nama aliran ini juga dihubungkan dengan tokohnya yaitu Tsumamah bin Asyras al-Namiry (W. 213 H). 10. Al-Hisyamiyyah, sekte ini dipelopori oleh Hisyam bin ‘Amr al-Fuwathy (W. 226 H). 11. Al-Jahizhiyyah, sekte ini tokohnya adalah ‘Amr bin Bahr Abi ‘Utsman al-Jahizh, ia juga adalah orang yang paling berpengaruh dalam Mu’tazilah dan banyak menerbitkan buku-buku Filsafat. Ia hidup di masa pemerintahan Khalifah al-Mu’tashim dan al-Muwakkil.Adapun keterangan wafatnya al-Syahrastani tidak mencantumkannya. 12. Al-Khayyathiyyah, pendiri sekte ini bernama Abi Husain bin Abi ‘Amr al-Khayath (W. 300 H), ia adalah pengarang kitab Al-Intishardan Al-Rad ‘ala ibn al-Rawandyisinya mempertahankan tentang aliran Mu’tazilah. 13. Al-Ka’biyyah, dipelopori oleh Ustadz Abi Qasim bin Muhammad al-Ka’biy (W. 319 H), dua sekte ini al-Ka’biyyah dan Khayyathiyyah adalah sekte Mu’tazilah yang berkembang di Baghdadatas satu mazhab, sehingga al-Syahrastani menyatukan pembahasan tentang keduanya. 14. Al-Juba’iyyah, sekte ini diotaki oleh salah seorang guru besar Mu’tazilah yaitu Abi Ahmad bin Abd al-Wahab al-Jubba’iy (W. 295 H). 15. Al-Bahsyamiyyah, sekte ini dihubungkan dengan anak al-Jubba’iy yakni Abi Hasyim Abd al-Salam (W. 321 H), kedua sekte inipun dibahas dalam satu bab oleh al-Syahrastani, keduanya disebut Mu’tazilah aliran Bashrah. PENUTUP Betapa menariknya pembahasan mengenai aliran mu’tazilah ini paham-paham rasional yang berhaluan filosofis pun tersaji dalam setiap ajaran yang mereka kemukakan. Bagi mereka akal atau rasio adalah metode yang paling utama dalam memecahkan setiap permasalahan termasuk masalah teologi. Aliran yang berkembang pesat pada masa khalifah al-Makmun ini sempat menjadi mimpi buruk bagi para ulama di zamannya seputar lontaran kaum Mu’tazilah bahwa al-Qur’an itu makhluk, Ulama sekaleber Imam Ahmad bin Hanbal pun tak lepas dari kepahitan menghadapi doktrin kaum mu’tazilah. Adapun mengenai sejarah lahirnya serta penamaan kaum Mu’tazilah sangat sulit untuk dipastikan yang mana yang benar di antara banyak versi yang telah disebutkan.Namun setidaknya dari pemaparan di atas kita sudah mengetahui dan mungkin mempunyai pandangan sendiri tentang seluk beluk aliran Mu’tazilah. Lima ajaran dasar Mu’tazilah merupakan modal seseorang untuk menganut atau menceburkan diri seseorang ke dalam aliran Mu’tazilah.Jadi setelah anda membaca paparan makalah ini anda berhak menilai diri anda apakah ada bibit ajaran Mu’tazilah yang menghinggapi diri dan itu hanya anda yang tahu. BIBLIOGRAFI Al-Syahrastani,Muhammad Abd Al-Karim, Al-Milal wa Al-Nihal,kairo: Muassasat al Halabi, 1968. Al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, terj. Fachry, Jakarta: Hikmah, 2010. Asmuni, M. Yusran,Dirasah Islamiyyah 2: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran,Jakata: Raja Grafindo Persada, 1996. Al-Hafni,Abdullah Mu’in,Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muhtarom, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006. Dahlan,Abdul Aziz,Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam: Bagian 1 Pemikiran Teologis,Jakarta: Beunebi Cipta, 1987. Hanafi,Ahmad,Theologi Islam (Ilmu Kalam),Jakarta: Bulan Bintang, 1982. Hadariansyah AB, Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, Banjarmasin: Antasari Press, 2010. Nasution,Harun,Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986. Nasir,Sahilun A.,Pengantar Ilmu Kalam,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. ----------------------Pemikiran Kalam (Teologi Islam),Jakarta: Rajawa Pers, 2010. Subhani,Ja’far,Al-Milal wa Al-Nihal: Studi Tematis Mazhab Kalam, terj. Hasan Musawa, Pekalongan: Penerbit Al-Hadi, 1997. Sou’yb,M. Joesoef,Mu’tazilah: Peranannya dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997. Tim penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, jilid 5. Rahman,Budhy Munawar- ddk, Ensiklopedi Nurcholis Madjid Pemikiran di Kanvas Peradaban, Jakarta: Mizan, 2006, jilid 4. Zahrah,Muhammad Abu,Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, terj. Abd Rahman Dahlan Jakarta: Logos, 1996. Zar,Sirajuddin,Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya,Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

isi dengan sopan dan santun

Blogroll